SUARA AZAN Subuh berkumandang dimana-mana. Alunannya merdu sekali. Seperti nyanyian surga. Walaupun nyanyian surga tak pernah tahu bagaimana kedengarannya. Tak tahu kenapa, azan Subuh adalah azan yang paling dinanti-nanti. Kumandang azan Subuh selalu lebih merdu dibanding dengan kumandang azan yang lain. Tapi bukan berarti suara azan-azan yang lain tidaklah indah. Dan yang paling menakjubkan dari azan adalah bahwa azan tidak akan pernah berhenti berkumandang di seluruh dunia hingga hari kiamat.
Mendengar suara indah itu, Burhan terbangun. Ia langsung membasuh mukanya, lalu berwudu dengan tertib. Setelah itu, ia memakai sarung serta kopiah hitam peninggalan almarhum Abinya dahulu. Bersiap untuk salat Subuh berjamaah di masjid.
Walau udara diluar sangatlah dingin, tetapi tidak mengurungkan niat Burhan untuk melangkahkan kakinya ke rumah Allah. Ia sudah terbiasa salat Subuh berjamaah di surau ketika di kampung. Apalagi udara Subuh di kampung lebih dingin ketimbang udara Subuh di ibukota. Terlebih, ganjarannya seperti seisi langit dan bumi. Sampai-sampai, malaikat pun menyaksikan salat Subuh sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Isra' ayat 78 : "...dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."
***
Sekitar jam setengah delapan pagi, Burhan dan Ginting sudah berada di taman kota hendak menuju Monas, merefreshing otak.
"Gimana, si Sofi jadi ikut gak?", tanya Burhan sambil melirik jam tangannya.
"Jadi Gin. Aku sudah beri tahu dia untuk janjian disini. Sebentar lagi juga sepertinya Sofi akan datang kesini."
Dan benar saja, selang 5 menit Sofi pun datang dengan balutan busana muslimah yang sangat syar'i. Membuat Burhan terpesona dengan penampilan Sofi, yang makin kesini makin mempertegas bahwa ia adalah seorang muslimah yang sangat taat. Tampilan Sofi sangat cantik, hingga membuat Burhan sama sekali tak berkedip. Tapi ia sesegera mungkin mengucapkan istighfar atas perlakuannya itu dan mengalihkan pandangannya.
"Assalamu'alaikum", ucap Sofi.
Burhan dan Ginting menjawab salam Sofi dengan kompak. Meskipun Ginting adalah umat Hindu, ia selalu membalas salam dari seorang muslim. Baginya mengucapkan salam adalah suatu penghormatan besar, karena ucapan salam berarti mendoakannya.
"Ayo, kita berangkat sekarang. Oh iya Sofi, kamu sedang tidak sibuk 'kan? Aku gak mau kalau kamu ada kesibukan, tapi maksain buat ikut", ucap Ginting.
"Oh engga kok, aku gak lagi sibuk. Malahan ini ide bagus, aku juga lagi ingin menyegarkan otak sama seperti kalian", jawab Sofi meyakinkan mereka.
"Oh yaudah kalo gitu, kita berangkat. Nanti keburu padet, biasanya hari libur gini di Monas banyak banget orang gak kaya hari biasanya"
"Iya ayo. Yuk, Sof!", ajak Burhan singkat.
Tak lama kemudian, mereka pun berangkat menuju Monas menggunakan bus kota. Jaraknya tak begitu jauh. Tidak sampai setengah jam mereka pun akan sampai di Monas. Perjalanan mereka pun dihangatkan oleh pancaran sinar matahari yang tak pernah lelah menerangi bumi. Cahayanya masuk melalui jendela bus. Cahaya matahari di pagi hari sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Hal yang biasa terjadi ketika mengikuti upacara bendera di sekolah. Mendapatkan vitamin secara gratis dari sang Surya.
Seperti biasa, Burhan duduk di dekat jendela. Melihat pemandangan luar ibukota dengan begitu banyak keanekaragamannya. Sambil memperhatikan wajah Sofi yang anggun yang terpantul lewat jendela bus. Dan lagi-lagi, Burhan mengucapkan istighfar. Namun kali ini lebih keras, hingga Sofi pun mendengarnya.
"Kenapa Bur?", tanya Sofi keheranan dengan tingkah Burhan.
"Oh, e.. ee.. engga Sof, tadi aku cuma ngeliat ada yang aneh aja di jalanan", jawab Burhan dengan segenap kegugupannya.
"Aneh? Apa itu Bur?", tanya Sofi penasaran.
"Itu, tadi aku seperti melihat bidadari di jalanan"
"Oh begitu ya, aku kira ada apa?", jawab Sofi dengan senyum herannya.
Mendengar perbincangan singkat itu, Ginting pun sengaja membatukkan dirinya. Tanda meledek dan mengerjai Burhan. Burhan pun sedikit melotot ke arah Ginting yang ada di sampingnya. Sementara Sofi berada di sebelah Ginting. Ginting pun seolah-olah tak dianggap oleh mereka berdua. Namun Ginting sangat menginginkan suasana itu. Hal itu sangat menyenangkan hatinya, karena bisa menyindir Burhan yang bertingkah aneh kepada Sofi yang merupakan teman lamanya di Sekolah Dasar.
Walaupun Burhan 6 tahun berteman dengan Sofi, namun saat itu mereka seakan-akan baru berkenalan hari kemarin. Wajar saja, 6 tahun berteman, dan 6 tahun pula berpisah. Sehingga lain dulu lain sekarang. Apalagi kini mereka sudah beranjak dewasa, tidak seperti anak Sekolah Dasar lagi. Lebih mengerti tentang perasaan hati manusia yang unik.
Tapi tetap saja, ada sikap yang sangat tidak wajar dari Burhan kepada Sofi. Dan nampaknya, Sofi pun seperti itu. Entahlah, manusia memang selalu sulit untuk ditebak. Hanya diri mereka dan Allah saja yang tahu apa yang ada dalam hati dan pikiran mereka.
Setelah percakapan itu, Burhan pun kembali menatap keluar. Menatap kegiatan di jalanan. Sementara Sofi hanya melihat ke arah depan dengan senyumnya yang indah itu. Sesekali ia membaca buku-buku kecil seperti novel. Ginting hanya memainkan ponsel jadulnya, entah apa yang dimainkan dalam ponselnya itu. Namun, sesekali Ginting pun sengaja membatukkan dirinya lagi sambil melirik ke arah Burhan sambil tertawa kecil.
Burhan pun hanya mengucapkan istighfar jika tak ada kata-kata lagi yang bisa terucap. Ginting memang benar-benar membuatnya kesal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Pelangi
SpiritualBurhan adalah seorang anak kampung yang tinggal di sebuah pedesaan di Pulau Sumatera. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bernama Hana dan Santi. Mereka bertiga adalah anak dari Abi Guntur dan Ummi Salamah. Burhan memiliki seo...