SUARA AZAN Subuh sudah menggema membangunkan para muslimin untuk menyembah Tuhannya. Kokok ayam pun mengiringi irama azan. Saatnya Burhan beranjak dari tempat tidurnya, bersiap untuk salat Subuh berjamaah di surau sebelum membantu Ummi Salamah membuat buras dan beberapa gorengan untuk dijual.
Setiap hari minggu, Burhan selalu membantu Ummi Salamah untuk menyiapkan beberapa makanan untuk keperluan warung kecilnya. Sejak bencana badai, Ummi Salamah membuka warung kecil-kecilan hasil meminjam uang dari Wak Tuti adik Abi Guntur yang baik sekali.
"Ummi, Burhan berangkat dulu ke surau, Assalamualaikum" Burhan pamit kepada Ummi Salamah sambil memakaikan kopiah peninggalan Abinya.
"Iya Bur, Waalaikumsalam. Hati-hati dijalan..."
Burhan berangkat ke surau dengan badan bergetar-getar. Sebab, udara di luar masih sangat dingin. Langit pun masih gelap, belum muncul tanda-tanda matahari naik. Cocok untuk orang pemalas yang masih belum puas berisitirahat.
Untuk mengurangi rasa dingin itu, Burhan menutupi badannya dengan sarung yang ia bawa dari rumah. Inilah rasa yang amat berat jika ingin salat Subuh berjamaah di surau, tetapi tergantikan dengan pahala yang seperti seisi dunia ini. Pantas saja sangat sulit untuk dilakukan. Ketika mengambil air wudhu saja, kulit Burhan hampir tak kuasa menyentuhnya. Hanya orang-orang yang ikhlas saja yang bisa merasakan betapa nikmatnya salat Subuh berjamaah di surau atau di masjid meskipun tidak banyak jamaah yang datang.
"Eh Bur, pagi-pagi sekali kau datang ke surau. Tidak bersama Duta, Bur?" Tanya Bang Jimbal remaja 19 tahunan itu. Ia anak Wak Nuni. Bang Jimbal termasuk remaja yang rajin dan gemar ke surau. Pergi ke surau sudah seperti menjadi hobby.
"Tidak Bang, sepertinya Duta salat Subuhnya dirumah"
"Oh begitu ya, heran saja aku tak melihat kau bersama Duta. Biasanya kau dan Duta 'kan selalu bersama" Bang Duta tertawa kecil.
Tak lama kemudian, mereka pun masuk ke dalam surau untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Bang Jimbal iqamat, sementara Pak Kiyai Rajak yang mengimami salatnya. Di dalam surau saat itu hanya ada 4 makmum saja, mungkin yang lainnya salat Subuh di rumah atau masih berkutat dengan selimutnya. Membiarkan pahala besar yang ada di depan mata terbuang begitu saja.
***
Sepulangnya dari surau, Burhan langsung menanggalkan sarungnya. Namun tetap dengan kopiah hitam yang setia menemani kepalanya. Saatnya Burhan memasukkan beras-beras ke dalam daun pisang untuk direbus menggunakan kayu bakar.
Ummi Salamah biasa menyediakan berbagai makanan di warungnya seperti buras, gorengan dengan sambal hijaunya, dan juga beberapa kue yang dibeli dari pasar yang ada di kecamatan.
Bagi Burhan, jika semua makanan itu bersatu di tempatnya masing-masing akan terlihat begitu indah. Banyak sekali warna-warnanya, yang membuat Burhan yakin jika warung Umminya itu bisa laku karena melihat keindahan macam-macam makanannya itu. Setidaknya bisa untuk mengganjal perut di pagi hari sambil menikmati panorama alam pedesaan. Ummi Salamah juga terkadang menyediakan kopi hitam untuk penambah kenikmatan.
"Bur, sekarang kau sudah 12 tahun, sudah duduk di kelas 6 SD, kalau kau sudah dewasa, jangan kau kecewakan Ummi dan Abimu, kau harus menjadi orang yang sukses, jangan seperti Ummi yang hanya bisa berjualan seperti sekarang ini. Kau harus menjadi orang yang berguna, banggakan Ummi dan Abi. Jadilah contoh buat Santi dan Hana"
Sambil menggoreng bakwan, Ummi Salamah berbincang-bincang dengan Burhan, memberikan semangat. Yang membuat Burhan semakin percaya diri.
"Iya Ummi, Burhan janji akan membuat Ummi dan Abi bangga, Burhan akan menyekolahkan Santi dan Hana sampai kuliah, Burhan akan berusaha semaksimal mungkin Mi" Jawab Burhan sambil mengikat buras-buras itu menggunakan tali rapia.
"Oh iya Ummi, burasnya langsung dikukus saja? Soalnya Burhan sudah mengikat semua burasnya" Tanya Burhan.
"Iya Bur, hati-hati mengukusnya"
Tak lama setelah Burhan mengukus buras, Santi dan Hana pun terbangun dari tidurnya. Entah kenapa Santi menangis, sementara Hana langsung menuju kamar mandi untuk membuang air kecil. Biasanya Hana dan Santi bertugas menjaga warung bila-bila ada pelanggan yang datang untuk ngopi atau sarapan dengan buras dan gorengan.
"Bur, tolong jaga bakwannya, aduk-aduk saja di tempat penggorengannya, kalau warnanya sudah agak kecokelatan angkat saja Bur" Ummi Salamah menuju ke dalam untuk memastikan apa yang terjadi dengan Santi.
"Ummi... Ummi... kaki Sasan sakit" Santi meneruskan tangisnya sambil memegang kaki kanannya yang kesakitan.
Pada kaki Sasan terlihat sedikit luka, nampaknya tikus telah menggigit kakinya. Sudah biasa, tikus di rumah itu memang banyak, tak jarang tikus jail itu selalu menggigit kaki pemilik rumah. Ummi Salamah pun sering tergigit tikus jail itu, Burhan dan Hana pun mengalami hal yang sama. Burhan pun sampai-sampai merengek kesakitan, begitu pula Ummi Salamah walau tidak sampai menangis. Hanya Hana saja yang mampu menahan rasa sakit dari gigitan tikus jail itu.
"Sudah-sudah sayang, sini Ummi lihat lukanya" Lalu Ummi Salamah pun menjilat bagian kaki Santi yang terluka. Ummi Salamah sangat sayang kepada semua anaknya, tak ingin melihat anaknya menderita walaupun hanya digigit oleh seekor tikus rumahan.
Perlahan, tangisan Santi pun mereda. Air matanya dihapus oleh Ummi Salamah. Air liur Ummi Salamah benar-benar obat yang mujarab untuk menyembuhkan luka Santi, nyeri di kaki Santi langsung hilang seketika setelahnya. Dan tidak hanya air liur Ummi Salamah yang mujarab, air liur para ibu di luar sana yang berusaha untuk menyembuhkan buah hatinya pun pasti serupa mujarabnya dengan Ummi Salamah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Pelangi
SpiritualBurhan adalah seorang anak kampung yang tinggal di sebuah pedesaan di Pulau Sumatera. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bernama Hana dan Santi. Mereka bertiga adalah anak dari Abi Guntur dan Ummi Salamah. Burhan memiliki seo...