Part 2 - Kabar Tak Baik

2.7K 101 18
                                    

Masalah ini seketika membuat pening kepalanya. Orang baru berarti masalah baru. Terkadang Arya tak habis pikir, mengapa begitu banyak orang yang mudah terhasut kejahatan ketimbang berusaha menata hati yang sudah baik. Komplotan ini seperti meremehkan kinerja kepolisian. Mereka beranak pinak layaknya larva nyamuk tanpa pernah berpikir tentang kabar mereka jika sudah terendus polisi.

Arya mencoba mencari kesamaan antara berkas yang dulu dikumpulkannya dengan berkas yang baru saja didapatnya ini. Polanya mirip. Hanya rasanya sedikit diperhalus. Arya tersenyum puas, setidaknya ada celah walau sedikit.

"Ar, di suruh bos ke ruangan." Seru salah satu rekan kerja Arya.

"Thanks."

"Dapet tuna mungkin, Ar."
(re: tuna = istilah dikalangan rekan kerja Ararya untuk menyebut kasus besar)

Mendengar istilah tuna dari mulut salah satu rekan kerjanya membuat Arya terkekeh pelan mengingat bagaimana awal istilah itu mulai digunakan. Istilah yang menggambarkan besar kecilnya kasus menggunakan nama ikan layak konsumsi berdasarkan harga menurut mereka. Dulu mereka sepakat jika tuna digunakan untuk kasus besar nan pelik.

Sempat ada perdebatan antara menggunakan tuna atau salmon. Kedua ikan itu mahal. Apalagi kalau sudah masuk restoran ternama. Karena hampir semua tim kerja Arya adalah pria dan tak tahu harga asli ikan itu, maka digunakanlah tuna.

"Mau gantiin?" tawar Arya saat melewati meja kerja rekannya itu.

"Nggak deh. Mau tidur nyenyak sambil mikirin ikan lele. Pengen aku jadiin pecel kalo keinget kasusnya."

"Lele sama tuna lebih stres mikir tuna. Udah nggak usah banyak ngeluh. Kerja sana." Ujar Arya sembari berlalu menuju ruangan Pak Aldi.

Suara ketukan pintu itu terdengar keras ketika kantor ini terasa sepi.

"Masuk." Arya segera membuka pintu. "Langsung duduk saja, Ar. Saya sedang menunggu satu orang lagi." Sambung Pak Aldi.

Lagi. Suara ketukan pintu itu terdengar tak lama setelah Arya duduk di hadapan Pak Aldi. Masuklah seorang pria dengan celana kain warna hitam dan jaket berwarna abu-abu gelap. Wajah pria ini masih bisa dikatakan seperti remaja jika menurut Arya. Masih terlalu muda.

"Ararya, kenalkan ini Bryan. Salah satu anggota kita yang baru dari kepolisian pusat. Dia akan bergabung dalam tim kalian."

Kedua pria itu saling tatap sejenak sebelum berjabat tangan saling memperkenalkan diri masing-masing, "Ararya." "Bryan."

"Selamat datang di tim kami."

"Senang bisa bekerja sama dengan Anda. Mohon bimbingannya."

Setelah ajang perkenalan diri, barulah mereka mulai membahas mengenai kasus. Sesuai bidang yang dikuasainya, Arya menawarkan metode sniffing atau bahasa awamnya adalah menyadap data melewati lalu lintas data dalam melacak gerak gerik dari target mereka kali ini. Arya mengenal target dengan baik makanya ia menawarkan hal itu.

Target mereka ini sudah sangat terkenal dikalangan kepolisian dan agent dalam menghubungkan serta menyatukan kejahatan fisik dengan cyber crime. Terdengar sedikit mustahil namun memang itulah yang terjadi. Arya berulang kali menemukan kasus seperti ini dan menyelesaikan kasus itu lewat cara-cara yang mungkin susah untuk Arya jelaskan.

Arya merasa komplotan itu memilik tim IT tersendiri untuk melancarkan aksinya. Hal itu berdasarkan dari pengalaman Arya yang berperang melawan hacker dari komplotan mereka ketika penangkapan pertama. Rasanya sedikit tak rela jika Arya menyebut lawannya saat itu adalah seorang hacker.

Bagaimana tidak. Istilah hacker itu sendiri sebenarnya digunakan untuk orang-orang yang bisa dikatakan 'master' dalam penggunaan komputer. Namun, dikalangan masyarakat sendiri istilah ini sudah memiliki konotasi negatif. Hacker dianggap merusak dan identik dengan kejahatan. Padahal, orang-orang semacam ini lebih pantas disebut cracker ketimbang hacker.

SECRET AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang