DELAPAN

28 2 0
                                    

_kanaya

Tak semua yang terlihat baik itu baik dan tak semua yang terlihat buruk itu buruk. Mungkin itulah kata yang seharusnya aku dan ayah perlukan semenjak dulu. Selama ini kami hanya berusaha  saling membahagiakan satu sama lain. Tapi kami tak pernah mencoba menyelami hati satu sama lain. Kami hanya melihat dari luar saja. Sehingga kami memberikan kebahagiaan yang salah, yang justru menyakiti diri kami sendiri.

Semenjak malam itu semuanya berubah. Hubunganku dan ayah semakin dekat. Kedingingan di antara kami perlahan memudar. Kami jadi saling terbuka, saling menanyakan kesibukan masing-masing. Kami juga lebih sering menyempatkan waktu untuk bersama. Seperti saat ini kita sedang sarapan bareng. Walaupun cuma pake roti isi tapi aku senang. Karena intinya di sini bukan sarapannya tapi tawa yang kita ciptakan saat sarapan ini.

"Nanti kuliah sampek jam berapa?" tanya ayah, sambil mengoleskan coklat pada roti tawarnya.

"Emm.. sampek jam satu, tapi abis itu ada rapat BEM. mungkin sore udah pulang. Emang kenapa yah.?"

"Nanti sepulang ayah kerja kita belanja keperluan rumah ya. Kasian kalau mbak lastri trus yang belanja."

Mbak lastri itu asisten rumah tangga di rumahku yang tugasnya bersih-bersih rumah serta mengurus semua keperluan rumah, kecuali memasak. Karena aku dan ayah lebih sering makan di luar atau kadang beli. Jadi mbak lastri kesininya biasanya cuma tiga atau Empat kali dalam seminggu.

Aku tahu ayah mengajakku belanja sebenarnya bukan karena kasian mbk lastri tapi karena dia pengen kita makin dekat.

"Boleh deh yah" jawabku tanpa pikir panjang. "tapi beliin sepatu ya" candaku kusertai rentetan tawa.

Ayah mencibir "hmm modus."

"Biarin kapan lagi bisa modusin ayah." aku menjulurkan lidahku, membuat ayah tertawa.

Rasanya betapa bodohnya aku selama ini melewati waktu dengan penderitaan. Padahal kami bisa membuat kebahagiaan sesederhana ini.

****

"Nay tadi tante Nina telfon" perasaanku mendadak gak enak mendengar ayah menyebutkan nama adeknya itu. "weekend ada acara keluarga di Bandung. Dia pengen banget kita datang."

Mood ku mendadak berubah mendengar 'acara keluarga'. Semenjak empat tahun lalu, acara keluarga menjadi momok menakutkan bagiku. Terakhir kami mengikutinya adalah tiga tahun yang lalu, beberapa bulan setelah kematian Arka. Tahun-tahun berikutnya ada dua acara, aku menolak untuk menghadirinya. Dan tahun ini acara kembali diadakan. Jujur sebenarnya aku kangen, tapi kejadian tiga tahun lalu membuat aku males datang. Di sisi lain aku nggak enak sama ayah. Karena ini adalah acara tahunan yang rutin diadakan oleh keluarga besar ayah tiap tahunnya.

"Kalau kamu gak bisa gak papa kug, ayah ngerti, kalau kamu gak datang, ayah juga gak bakal datang." sepertinya ayah menyadari perubahan pada ekspresi wajahku.

Aku menatap ayah" Naya pikirin dulu ya yah."

"Yaudah ayah tunggu jawabannya" ayah melihat jam tangannya lalu berdiri "ayah ke kantor dulu ya"

"Ok yah"aku mencium tangannya.

Aku melihat jam tanganku, masih jam 06.30 sedangkan kuliahku masih jam 08.00. masih ada satu setengah jam lagi. Aku memutuskan untuk berangkat nanti saja. Lagian jarak kampus dan rumahku cuma makan waktu 30 menit.  Aku menyenderkan diri di tempat dudukku. Kembali aku memikirkan tentang acara keluarga. Haruskah aku mengikutinya atau menghindarinya lagi? Sampai kapan aku menghindarinya terus? Ingatanku melayang ke tiga tahun lalu

flashback on

Bandung

Aku lagi membantu tante Nina dan karin (anaknya tante nina) menyiapkan makan malam di dapur, sementara keluarga yang lain lagi asyik di luar. Entah apa yang mereka lakulan.

Maaf, Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang