_Kanaya
"Lo ngapain sih bawa gue kesini?" tanyaku, saat ini kita berada di taman kota.
"Gue pengen jalan-jalan aja, suntuk dari tadi pagi di ruang PMI mulu,"
"Terus kenapa lo ngajak gue Alfiin, gue itu banyak kerjaan, gue harus urusin lap_"
Alfin meletakkan telunjuknya di bibirku, "Gue udah bantuin lo banyak hal, dan sekarang gue lagi suntuk lo gak mau nemenin gue yaudah lo boleh pergi." ujarnya datar lalu jalan meninggalkan ku.
Aku merasa nggak enak, aku mengikuti langkahnya, "fin sory."
"Sory untuk apa?," jawab alfin sambil duduk di bangku taman, aku mengikuti duduk di sampingnya.
"Sory karena gue gak peka. Lo ada masalah apa sih sebenarnya,?,"
Alfin diam,
"Gue bakal temenin lo kok, kalo emang gue bisa bantu, gue bakal bantu sebisa gue, selama ini lo kan uda sering bantuin masalah gue," ujarku menghibur alfin.
"Gue gak butuh di temenin orang cuma karena dia mau bales budi," jawab Alfin cuek, aku heran sama dia, emosinya sering berubah-ubah.
"Aku bantu kamu bukan karena balas budi fin, karena aku peduli sama kamu,"
"oh ya,?" lanjutnya, aku mengangguk, "lebih peduli mana sama gue atau sama abi?"
aku diam, tubuhku menegang, pertanyaan itu jelaslah tidak bisa aku jawab. Abi adalah pacarku, sedang Alvin adalah sahabatku. tapi kalau boleh jujur aku memang lebih bahagia sama Alvin daripada sama abi.
"kok diam," ujar alfin, membuatku tersentak. "jawab dong, lo lebih peduli sama gue atau sama abi?"
"apaan sih loh,?" sungutku.
suasana lengang sejenak, sebelum akhirnya Alvin mengatakan sesuatu yang tak pernah ku duga.
"lo mau nggak putusin abi?" ucapnya datar, aku tercengang, mulutku megap-megap ingin mengatakan srsuatu tapi entah apa aku juga bingung. "please..buat gu_ emm bukan. buat aku tolong kamu putusin abi.." tatapan alvin yang penuh pengharapan, juga penggunaan sebutan aku kamu bukan gue lo cukup untuk membuatku mengerti maksudnya-setidaknya untuk beberapa waktu aku pikir aku benar-
"ok. gue emm,." aku ralat, "aku akan putusin abi,"
***Aku sudah memutuskan abi dua bulan lalu lewat telfon. tidak banyak respon dari abi, hanya tanya mengapa. aku menjelaskan jika kita sudah tak cocok lagi dan abi menutup telfonnya begitu saja. Seminggu setelahnya baru terlihat marahnya abi,_mungkin karena dia baru sempat ke kampus menemuiku_ dengan muka mengeras dia menghampiri aku yang sedang berdua di taman bersama alvin.
"Jadi dia yang buat kamu mutusin aku,? tanyanya dengan pandangan nyinyir ke alvin.
Aku hanya diam menunduk.
"jawab nay, apa dia yang buat kamu mutusin aku?" tanyanya lagi kali ini dengan sedikit membentak.
"kalo iya emang kenapa?" kali ini alvin yang menjawab. "cowok playboy kaya lo gak pantes buat kanaya_"
"bug,"
tanpa aba-aba sebuah bogem mendarat di wajah alvin, alvin yang tak mau kalah balas menonjok rahang abi. beberapa saat mereka saling adu jotos. aku tak kuasa menghentikan mereka, berkali-kali aku teriak menyuruh mereka berhenti tapi sepertinya telinga mereka kebas Hingga tak mendengar kataku. satu dua penghuni kampus berdatangan menjadikan ini seperti tontonan menarik. untungya tak lama petugas keamanan kampus datang, berhasil memisahkan mereka. mengajak mereka berdamai. mengancam akan melaporkan ke dekan. Abi yang sepertinya tak mau berurusan lagi dengan dekan memilih pergi setelah menatap sinis alfin, seperti berkata gua akan buat perhitungan sama lo lain waktu.
****
Awalnya aku takut dengan ancaman abi, aku takut jika adu jotos itu terulang lagi atau jika abi nekat abi bisa melakukan hal lebih gila lagi demi dendamnya-mengeroyok alvin misalnya, atau mencelakai alvin. tapi aku mulai tenang karena sampai hari ini kejadian itu tak pernah terjadi. sempat beberapa kali kami berpapasan dengan abi dan abi hanya menatap alvin tidak suka. tak ada tanda-tanda dia akan menyerang Alvin. Mungkin abi juga berpikir dua kali untuk berurusan dengan alvin, mengingat orang tua alvin adalah salah satu orang terkaya di jakarta yang dengan uangnya bisa membeli apapun termasuk kampus ini.
Lepas dari semua hal itu, aku senang hubunganku dengan alvin semakin dekat. Alvin sering menemani aku menjenguk mama, ziarah ke makam arka, juga sering makan malam bersama aku dan papa. Alvin tak pernah berhenti meyakinkanku jika suatu saat mama pasti sembuh, dan bisa berkumpul dengan kami lagi, terbukti walaupun belum benar-benar sembuh tapi kata dokter yang merawat mama kondisi mama ada kemajuan.Arka pasti bahagia kalau keluarganya bahagia, itu juga sering alvin katakan padaku. Alvin juga semakin dekat dengan papa, mereka sering ku temukan asyik mengobrol ketika pagi hari alvin menjemputku kuliah, atau sore hari ketika alvin mengantarku pulang. Bahkan pada hari libur Alvin sering main ke rumah dan lebih asyik ngobrol dengan ayah dari padaku.
Aku bahagia punya Pacar yang bisa dekat dan menerima keluargaku seperti alfin, sebelum akhirnya aku sadar status itu hanya sepihak.
****
Berkat Alvin, aku tak pernah lagi merasa kesepian, meski aku di rumah sendirian seperti saat ini karena ayah belum pulang dari kantor-kata ayah karena ada kerjaan gak bisa di tunda-. Aku sedang chatingan sama Alvin, ketika mataku tak sengaja menatap kotak besar di kolong tempat tidur. Aku tahu kotak itu, kotak yang tak pernah ku sentuh sejak 3 tahun lalu. kotak yang berisi jersey dan bola basket yang sengaja ku simpan sejak kematian arka dan berjanji tak akan ku gunakan lagi. Kali ini perlahan aku membuka kardus itu, rasanya masih sesak saat menyentuh sebuah jersey merah, rasanya baru kemarin aku memakai jersey itu dan teriak-teriak meminta arka menonton pertandingan basketku.
"Drt.. drt.." getaran ponselku berhasil menyadarkanku dari lamunanku. dari Alvin.
Alvin_ardi: gak bi bales?
Alvin_ardi: sudah tidur?aku menghela nafas panjang sebelum membalasnya singkat.
kanaya: belom
Alvin ardi: ngapain??
aku menatap jersey merah itu sekali lagi sebelum membalas pesan alvin. Alvin pernah bilang suatu saat aku harus main basket lagi, dengan begitu aku bisa membuat arka bahagia.
Kanaya: Aku pengen main basket lagi vin. apa aku bisa.
Alvin nggak membalas chatku, tapi dia menelfonku.
"kamu bisa nay," itu yang pertama kali dikatakan saat aku mengangkat telfonnya. dan sebelum aku menjelaskan semua ketakutan dan keraguanku. Alvin lebih dulu meyakinkanku. kamu pasti bisa main basket lagi, aku akan bantu kamu, itu akhir dari perkcakapan kami malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Aku Mencintaimu
Ficção AdolescenteKanaya putri Artavia seorang mahasiswa semester 3 yang menjalani hidupnya dengan bayangan rasa bersalah atas kematian kakaknya. Pertemuannya dengan Alfin Ardiansyah Putra mengubah segalanya.. Tapi siapa sebenarnya Alfin? kenapa dia tiba-tiba datang...