TUJUH

25 2 1
                                    

_kanaya

Melihat potret keluarga bahagia yang nampak di depanku, mengingatkan aku akan kebahagiaan bersama keluargaku dulu. Jujur aku iri pada mereka. Rasanya aku ingin terbang ke masa lalu, aku ingin menghentikan waktuku di sana saja. Berkumpul bersama mama, ayah dan Arka. Gak peduli walau mama dan ayah lebih sayang sama Arka, yang penting aku bisa melihat mereka bahagia. Jikapun Aku bisa menukar nyawaku dengan Arka akan aku lakukan.

"Kamu pengen seperti mereka?" seru cowok yang sedari tadi di sampingku.

"Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada bisa berkumpul dengan keluarga yang masih utuh. Semua orang menginginkannya fin, tapi tak semuanya bisa." aku diam sejenak menahan air mataku agar tak jatuh. "aku telah menghancurkan keluargaku fin."

"Tak ada seorangpun yang ingin menghancurkan keluarganya."
Alfin memegang kedua sisi kepalaku kemudian mengarahkan ke hadapannya. "Hanya saja kadang saat itu terjadi kita tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya."

"Aku yang menyebabkan kehancuran keluargaku fin. Gara-gara sifat aku yang childhish kakakku kecelakaan, mamaku depresi."

"Shuut"Alfin menggelengkan kepalanya pelan." jangan ngomong seperti itu, keluarga kamu nggak hancur, hanya perlu di perbaiki."

"Gimana caranya fin, aku nggak bisa." aku mengusap air mataku yang berhasil lolos.

"Kamu bisa, yakinlah" Alfin mendekap erat tubuhku. Entah kenapa pelukannya begitu hangat dan menenagkan. Rasanya aku tak ingin lepas dari pelukannya.

*****
Sejak perbincanganku dengan alfin semalam, Aku terdorong untuk menjenguk mama. kebetulan hari ini kuliah libur. Sebenarnya ada rapat BEM sih, tapi itu bisa di wakilkan. Aku lebih ingin untuk menjenguk mama.

ku langkahkan kaki melewati lorong rumah sakit. Lalu berhenti di ruangan paling ujung. Dari bilik jendela aku melihat seorang wanita paruh baya yang sangat aku sayangi. Rambutnya berantakan. Kedua tangannya mendekap figura kayu yang menampilkan foto anak laki-laki keasayangannya, foto siapa lagi kalau bukan Arka.

"Masuklah," sebuah suara yang familiar muncul dari belakangku, "Peluk dia, dia butuh kamu" lanjutnya.

Aku menoleh ke sumber suara. Mendapati alfin yang bediri tegak di belakangku. Matanya menatap lekat ke arahku. Aku menatapnya heran. Bagaimana bisa dia ada di sini? perasaan aku nggak memberitahu siapapun aku mau kesini?

"Nggak sulit menebak kamu dimana setelah cerita kamu semalam." Hahh sepertinya dia bisa baca fikiranku. "cepat masuklah." ucapannya mengalihkan kembali pikiranku ke mama.

"Mama nggak butuh aku fin, mama cuma butuh kak Arka, cuma kak Arka yang dia sayang."

"Dia menyayangi semua anak-anaknya. Dia butuh kamu. Ingatkan kalau ada kamu yang merindukan kasih sayangnya.

Perlahan Aku membuka pintu kemudian kulangkahkan kakiku menghampiri mama. ku elus rambutnya yang berantakan. ku usap wajahnya yang pucat pasi seperti habis menangis. Lalu ku dekap tubuhnya yang kurus itu.

"Ma Naya kangen mama. Kapan Mama pulang. Cepat sembuh ma. Naya butuh mama."

Seperti tak menyadari kehadiranku. mama tetap pada posisinya semula. Tak menggubris apa yang aku katakan. Mulutnya cuma bergeming meyebutkan satu nama sedari tadi. Nama siapa lagi kalau bukan nama Arka. Seolah aku memang tak ada artinya apa-apa buat mama. Yang di fikiran mama cuma Arka, Arka dan Arka.

"MA CUKUP MA. ANAK MAMA BUKAN CUMA KAK ARKA. MASIH ADA NAYA MA. KATAKAN APA YANG HARUS NAYA LAKUKAN SUPAYA MAMA BISA SEMBUH.. AYO MA KATAKAN"

Aku mengguncang-guncangkan kedua bahu mama berusaha agar mama menyadari kehadiranku. Agar mama sadar masih ada aku yang menunggunya, merindukan kasih sayangnya. Tetapi ternyata usahaku sia-sia. Mama justru teriak-teriak histeris.

Maaf, Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang