Satu

60.6K 3.3K 128
                                    

Aku turun dari mobil dengan perasaan jenuh seperti biasa. Aku tidak suka diantar sopir. Tapi seperti inilah peraturan di SMK 1. Maklum, sekolah di desa. Rata-rata ekonomi masyarakatnya menengah ke bawah. Siswa – siswinya dilarang bawa mobil agar tidak menimbulkan iri, walau aku tidak peduli kalau ada yang iri padaku.

Entah kenapa aku selalu kesulitan bersosialisasi di daerah ini. Masyarakat di sini terbiasa saling bertukar sapa jika bertemu meski hanya berpapasan di jalan. Aku tidak tahu bagaimana memulai sapaan kepada orang yang tidak terlalu mengenalku. Jadilah aku hanya menunggu disapa dulu baru menyahut, tidak pernah memulai duluan. Ternyata hal itu membuatku di anggap sebagai gadis sombong karena cantik dan kaya. Awalnya aku risih dengan anggapan itu, tapi lama - kelamaan aku tidak lagi peduli malah mulai bersikap acuh.

Aku pernah mengusulkan pada orang tuaku agar bisa bersekolah di kota, tapi mereka menolak. Alasannya karena tidak ada sanak saudara di kota dan menurut mereka kehidupan di kota amat keras. Tidak ada yang bisa membantu jika terjadi sesuatu karena biasanya orang kota lebih suka hidup sendiri–sendiri tanpa peduli sekitarnya. Dalam hati aku mengatakan bahwa itulah yang aku cari.

Membayangkan hidup di kota, aku jadi teringat tunanganku. Aku pernah berkhayal dia adalah pangeran yang akan menyelamatkanku dari tempat terpencil ini. Aku tersenyum mengingat khayalan konyolku itu. Tentu saja Raymond adalah pangeran versi modern dengan setelan jas dan menunggang mobil mewah. Dan tentu saja setelah menikah nanti dia pasti mengajakku tinggal bersamanya di kota. Aku tersenyum sambil mengelus cincin yang telah menemaniku sejak dua bulan lalu.

Lamunanku terhenti ketika seseorang menyenggol bahuku dengan keras, "Aduh!" aku memekik kaget sambil memegang bahuku yang terasa ngilu.

"Maaf," sebuah suara yang dalam dan berat menyahut. Aku mengalihkan pandangan dan langsung bertatapan dengan sepasang mata cokelat yang lumayan indah.

Setelah mengucapkan maaf yang tampak tidak tulus, pria itu langsung berbalik dan pergi. Aku sampai tertegun sejenak karena tingkahnya yang tidak tahu sopan santun itu. Tapi setelah memperhatikan penampilannya aku jadi tidak heran dengan tingkahnya. Dari jauh pun aku bisa menilai kalau dia merupakan pria berantakan yang tidak bisa mengurus diri. Rambutnya panjang sebahu dan jelas sekali tidak disisir. Seragamnya kusut seolah dipakai untuk tidur.

Aku melanjutkan langkahku sambil cemberut. Indonesia tidak akan pernah maju jika generasi penerusnya sekacau orang itu, pikirku masam. Seandainya semua pria di Indonesia ini seperti Raymond, pasti negeri ini bisa menjadi nomor satu di dunia. Senyumku merekah ketika bayangan Raymond yang selalu rapi dan elegan melintas di benakku.

Ruang kelas masih tampak sepi walau bel masuk tinggal 10 menit lagi. Beberapa siswa yang sudah hadir tampak berkumpul dalam beberapa kelompok untuk saling bertukar cerita. Aku mengabaikan mereka dan berjalan ke bangkuku sambil menegakkan tubuh dan mengangkat dagu. Salah satu teknik berjalan ala bangsawan yang sedang kukembangkan untuk menunjukkan bahwa aku masih bisa eksis walau mereka mengabaikanku.

Tempat dudukku ada di pojok belakang. Aku sengaja memilihnya demi ketenangan. Dan aku bersyukur karena siswa di kelas ini ganjil sehingga aku tidak perlu memiliki teman sebangku. Setelah duduk, aku mengeluarkan novel romantis dari tasku dan mulai menikmati alur ceritanya. Novel adalah salah satu syarat wajib yang harus kubawa ke sekolah, karena jujur saja, aku tidak terlalu tertarik dengan semua mata pelajaran.

Aku mendesah mendengar bel masuk yang mengganggu aktivitasku. Kumasukkan kembali novelku dan bersiap untuk mendengarkan materi yang amat membosankan. Kedatangan Bu Ani, guru fisika di kelasku, di sambut riuh teman – temanku. Aku heran karena biasanya kedatangan guru membuat mereka diam. Aku ikut memperhatikan belakang Bu Ani. Ternyata kami kedatangan murid baru. Aku menggeram dengan kesal setelah yakin si murid baru adalah pria tidak tahu sopan santun yang tadi menyenggolku. Aku memejamkan mata dan menggosok pelipisku dengan frustrasi karena tentu saja, si anak baru akan duduk di sebelahku. Satu – satunya tempat duduk di kelas ini yang masih kosong.

Lelaki Misterius (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang