Lima

30.6K 2.7K 59
                                    

Aku mengikat rambutku menjadi ekor kuda. Tadinya aku ingin menggerai rambutku, tapi kupikir diikat ekor kuda lebih cocok dengan celana jeans. Baju cokelat madu tanpa lengan yang kukenakan terasa nyaman dan pas di tubuhku. Aku yakin baju ini dijahit khusus untukku. Aku mendapatkannya sekitar sebulan lalu dalam bentuk paket, tapi tanpa nama pengirim. Karena teringat warna kesukaan Al, aku jadi ingin memakai baju ini.

Bel rumahku berbunyi ketika aku memakai sepatu. Aku tersenyum senang dan cepat-cepat keluar kamar. Nyaris saja aku membentur bi Imah yang hendak ke kamarku.

"Baru saja mau bi Imah panggil, tapi keluar duluan." Bi Imah tersenyum, "Neng Dhea mau kencan, ya?"

"Ih, sok tahu!" aku memalingkan wajahku yang memerah.

"Ternyata den Raymond lebih ganteng aslinya daripada fotonya," bi Imah terkikik geli seperti anak gadis.

"Oh," aku tersenyum kecut. Bi Imah mengira Al adalah Raymond, bagaimana caranya aku menjelaskannya. "Dhea pergi dulu ya," aku langsung menghambur keluar.

Aku masuk ke ruang tamu dan tertegun melihat Al. Al juga memakai jeans yang pas di pahanya yang kekar. Rambut sebahunya di sisir rapi. Dia sungguh tampan. Tapi yang membuatku tidak dapat memalingkan wajah adalah kemejanya. Al memakai kemeja lengan panjang berwarna cokelat madu dengan motif yang persis sama seperti pakaianku. Kami jadi seperti memakai baju couple atau mami papi atau apalah sebutannya.

Al masih belum menyadari kehadiranku. Dia sedang fokus memandangi lukisan dinding. Anehnya, jauh di dalam hatiku, suara kecil berbisik dalam pikiranku, "Raymond."

Aku memejamkan mata untuk menghapus pikiran itu. Mungkin aku tiba-tiba teringat Raymond karena perasaan bersalah. Setelah mataku terbuka kembali, aku berjalan menghampiri Al.

"Kita berangkat sekarang?" aku sedang tidak mood berbasa basi. Lagipula tidak baik jika ada tetangga atau saudara yang melihat aku pergi dengan seorang pria yang bukan tunanganku.

Al mendongak menatapku. Senyum tipis muncul di bibirnya melihat penampilanku. Al hanya mengangguk singkat lalu berdiri. Aku berjalan mendahuluinya. Aku ingin sekali memberi komentar tentang pakaiannya. Tapi aku benar-benar merasa tidak nyaman berduaan dengan Al di sini. Aku duduk kaku di atas motor, menahan diri memeluk pinggang Al seperti biasa.

"Lho, neng Dhea naik motor?" aku menoleh dan melihat bi Imah melongo.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Selama beberapa saat, bi Imah masih memandang kami dengan ragu, tapi lalu ikut tersenyum. Dia seperti ibu kedua bagiku.

"Neng Dhea pegangan sama den Raymond, takut jatuh." Aku tersenyum gugup lalu memegang kemeja Al. Bi Imah tampak tidak puas. Dia menghampiri kami lalu menarik tanganku agar melingkari pinggang Al. "Seperti ini." Ucapnya.

Aku mendengus kesal karena merasakan tubuh Al bergetar menahan tawa. Tapi aku sedikit heran karena tampaknya Al biasa saja dipanggil dengan nama orang lain.

Al menggangguk pada bi Imah lalu menyalakan motor. Tubuhku mulai rileks dan memeluk Al dengan nyaman ketika kami mulai melintasi jalan raya. Seperti sudah jadi kebiasaan, aku menyandarkan pipiku di punggung Al dan menghirup aromanya dalam-dalam.

Tak terasa kami sudah memasuki area pantai. Kupikir Al akan mengajakku ke taman hiburan yang biasa ditempati anak muda di sekitar sini. Yah, pantai boleh juga untuk kencan.

Pantai yang kami datangi tidak terlalu terkenal. Karena itu walaupun di hari minggu, lumayan sepi pengunjung. Aku berusaha mengingat nama pantai ini, tapi aku sama sekali tidak dapat mengingatnya. Bahkan suasananya terasa asing.

"Sepertinya aku belum pernah ke sini." Aku bergumam.

"Baguslah," Al nyengir sambil mengeluarkan tas kresek dari saku celananya.

Lelaki Misterius (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang