Enam

31.9K 2.7K 32
                                    

"Astaga Dhea, semua jawaban kamu salah!" Geram Al sambil mencorat-coret lembar jawabanku. "Sebenarnya apa saja yang kamu kerjakan selama belasan tahun di bangku sekolah?" Nada suara Al makin meninggi. Dia menghempaskan lembar jawaban yang penuh coretan itu ke atas meja lalu melotot ke arahku.

Sekarang aku membalas tatapannya dengan bibir mengkerut kesal. Tiga minggu yang lalu ketika Al pertama kali mengajariku, aku hampir menangis saat dia membentakku karena tidak bisa menyelesaikan soal metematika. Tapi kini aku sudah terbiasa dengan cara Al mengajar.

"Sudah aku bilang berkali-kali. Aku tidak suka belajar." Gerutuku kesal.

Al mendengus lalu mengeluarkan lembar soal lain dari tumpukan buku yang tersebar di ruang tamu rumahnya. Dia mengulurkan soal itu padaku. "Soal ini tidak jauh berbeda dari soal sebelumnya. Setelah kau menyelesaikannya, aku akan menjelaskannya satu-persatu."

Aku mendesah lalu merebahkan kepalaku di atas meja. Pipiku menempel di kaca yang dingin dan mataku menatap Al dengan memelas, berusaha tampak selesu mungkin.

"Al, aku lelah." Desahku. "Jawaban yang sebelumnya saja salah semua. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan yang itu. Lagipula seharusnya kau jelaskan dulu, baru memberi tugas."

"Aku gurunya. Terserah padaku bagaimana caraku mengajar." Al mengetukkan pena ditangannya ke dahiku. "Kau harus membiasakan otakmu ini bekerja sendiri. Selama ini kau tidak pernah menggunakannya kan? Pasti otak dibalik tengkorak kepalamu ini sudah karatan dan berdebu. Jadi harus ......"

"Oke!" seruku tiba-tiba seraya duduk tegak. Kurebut lembar soal di tangannya dengan kesal. "Sungguh Al, aku lebih suka mengerjakan soal-soal menyebalkan ini daripada mendengar kata-kata manismu." Sindirku sinis.

Al bergeser lalu menyandarkan punggungnya di kaki sofa. Aku bisa merasakan senyum kemenangannya ketika aku membungkuk di tas lembar soal sambil berpikir keras.

Sepuluh menit berlalu dan aku sudah tidak tahan lagi.

Kuletakkan pena di tanganku dengan geram. Suara kerasnya ketika menghantam permukaan meja berhasil menarik perhatian Al yang sejak tadi fokus pada novel di tangannya. Dia mengangkat satu alisnya dengan bertanya.

"Aku butuh udara segar."

Al melirik lembar soal di atas meja. "Maksudmu kau ingin menyudahi pelajaran hari ini? Kau bahkan belum menyelesaikan satu nomor pun."

Aku mendesah dengan keras. "Aku akan menyelesaikannya sambil menghirup udara segar."

"Baiklah." Al menutup buku di tangannya lalu berdiri. "Kita pindah ke halaman."

Aku mendongok menatap mata cokelat muda itu dengan cemberut. "Maksudku, kita pergi ke suatu tempat. Tempat yang teduh dan nyaman untuk menyegarkan otakku yang menurut pendapat profesionalmu sudah berkarat."

"Seingatku, halaman rumahku juga termasuk kategori teduh dan nyaman."

"Tapi aku tidak mau disini, ataupun di sekitar sini." Aku mendesah keras. "Tidak masalah kalau kau keberatan. Aku disini saja." Aku kembali meletakkan pipiku di permukaan meja yang dingin.

Kali ini aku mendengar desahan frustasi Al. "Cepat bereskan barang-barangmu. Kita akan pergi dalam 10 menit."

Aku tidak bisa menahan cengiran lebarku ketika memasukkan buku-buku di hadapanku ke dalam ransel. Seperti biasa, kalimat terakhirku selalu bisa membuat Al menuruti keinginanku.

***

Aku melirik Al yang sedang tertidur. Sebelah tangannya dijadikan bantal sedangkan tangannya yang lain bertumpu di atas perutnya. Hembusan angin segar dari arah sungai menyapa helaian rambut yang biasanya selalu membingkai wajahnya.

Lelaki Misterius (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang