Epilog

63.6K 4.2K 463
                                        

Aku bersenandung kecil sambil mengaduk sup di atas kompor. Senyum bahagia tidak bisa lepas dari bibirku.

Sebulan setelah pertemuan keluarga kami, Ray meminta izin kepada orang tuaku agar aku bisa kuliah di kota dan tinggal di apartemennya. Masih jelas dalam benakku wajah gusar ayah mendengar permintaan Ray.

"Kalian belum menikah," walau berbicara lembut, nada suara ayah terdengar tegas dan tidak ingin dibantah. "mana mungkin kalian tinggal bersama."

"Iya, Nak Raymond." Ibu menimpali. "Sebaiknya kalian menikah dulu. Kalau memang belum siap, ya biar Dhea selesaikan kuliahnya disini."

Aku cemberut mendengar saran Ibu, tapi tidak berani berkomentar.

Ray tersenyum lembut. "Kalau saya sendiri sudah siap nikah, Bu. Tapi saya ragu Dhea sudah siap menghadapi kehidupan rumah tangga." Aku memandang Ray dengan kesal dan siap membantah, tapi Ray meremas tanganku yang terlipat di pangkuan tanpa menoleh. Perhatiannya sedang fokus pada kedua orang tuaku. "Mengurus suami, rumah, lalu anak-anak. Saya rasa itu terlalu berat untuk Dhea di usianya sekarang. Lagipula kami masih asing satu sama lain. Karena itu, biarkan kami lebih saling mengenal dulu sebelum membina rumah tangga."

Setelah pidato panjang Ray dan adu argumen selama hampir setengah jam, pendirian Ayah dan Ibu tetap tidak bisa di ubah. Ingin sekali aku ikut memohon. Tapi tiap aku hendak bersuara, Ray meremas tanganku untuk memperingatkanku agar diam.

Akhirnya Ray meminta izin pulang. Aku mengantarnya keluar dengan cemberut. Ray menatapku sambil mengangkat alis ketika bersandar di pintu mobilnya.

Aku mendekat padanya lalu meraih kancing kemejanya, berusaha menahan diri agar tidak menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.

"Aku tahu kau pasti ingin berkata, 'apa kubilang' kan?" bisikku lemah.

"Aku tidak akan menyangkal." Ray mengangkat tangannya dan memilin sejumput rambutku di antara jemarinya. "Sudahlah, Dhea. Selesaikan dulu kuliahmu. Aku akan sering menengokmu di sini. Lagipula kau masih bisa berlibur ke kota bersamaku."

"Apa maksudmu?" aku mendongak menatap mata cokelatnya. "Setelah semua yang kita lalui bersama, kau pikir aku rela ditinggal selama itu?"

Senyum menenangkan tersungging di bibir Ray. Dia menarikku ke dadanya lalu mendekapku erat. Aku tidak lagi peduli jika saja ada yang mengintip atau bagaimana pendapat orang tuaku tentang anak gadisnya yang sedang berpelukan di halaman rumah mereka.

Aku mengabaikan semua itu dan menikmati rasa nyaman sekaligus menggetarkan yang selalu muncul tiap Ray mendekapku seperti ini. Kulingkarkan lenganku di pinggangnya dan merasuk lebih dalam ke pelukannya.

Seperti inikah rasanya ketika seseorang ingin dunia berhenti berputar? Aku makin mempererat rang kulanku dan membenamkan wajahku di dadanya seolah berharap bisa bersatu dengannya.

Ray membenamkan kecupan singkat di puncak kepalaku lalu berusaha menjauhkan tubuhku darinya. "Dhea," nadanya merayu sekaligus menegur.

Aku makin membenamkan wajahku karena saat itulah aku baru menyadari kalau aku telah membuat kemeja Ray basah oleh air mataku.

Ray terdiam ketika menyadari tangisku. Dia mengalah lalu membiarkanku memeluknya selama beberapa saat. Setelah air mataku mereda, aku menjauhkan wajahku dengan malu dan pedih. Aku bahkan langsung menghambur pergi tanpa memandangnya atau mengucapkan salam perpisahan.

Selanjutnya merupakan kenangan yang selalu membuatku tersenyum sekaligus meringis ketika mengingatnya.

Setelah kejadian itu aku mengurung diri di kamar. Awalnya semua orang mengabaikan tingkahku yang kekanakan itu. Kepanikan mulai terjadi ketika esoknya aku tetap mengurung diri di kamar. Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa seorang Dhea bisa bertindak nekat ketika keinginannya tidak terpenuhi.

Lelaki Misterius (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang