Tujuh

28.6K 2.6K 31
                                        

Aku menggigit kuku ibu jariku dengan gugup. Ini pertama kalinya aku datang sepagi ini kerumah Al. Aku sudah berdiri di pintu depan rumahnya dan sudah siap mengetuk tapi keraguan meliputi diriku.

Aku melirik jam wallpaper ponselku. Astaga, ini masih jam lima lewat lima belas menit, dihari hari minggu. Ini waktunya bangun siang.

Aku membetulkan tali tas ransel yang melingkari bahu. Buku-buku didalamnyalah yang menjadi alasanku berkunjung sepagi ini. Atau sejujurnya, karena buku-buku didalamnya aku jadi punya alasan untuk bertemu Al sepagi ini. Aku masih berdiri dengan ragu, memutuskan apakah tetap akan melanjutkan tujuanku atau pulang saja.

"Ini semua salah Al." Gerutuku. "Seharusnya Al tidak memberiku tugas sebanyak ini di malam minggu"

Aku sadar bukan hanya tugas menumpuk yang membuatku kesal. Tapi karena semalam Al tidak meng ajakku keluar seperti biasa. Terakhir kali aku melihatnya pada sabtu sore di gerbang sekolah saat dia memberiku setumpuk soal. Setelah itu, aku bahkan tidak bisa menghubunginya karena ponselnya tidak aktif.

Setelah menarik nafas panjang selama beberapa saat, aku segera berderap menuju pintu samping. Kupikir tidak ada gunanya mengetuk pintu. Sangat sulit membangunkan lelaki terutama di minggu pagi.

Seperti biasa, pintu samping tidak terkunci. Aku heran betapa santainya Al dengan urusan keamanan.

Aku langsung menuju kamar Al, tapi langkahku langsung terhenti ketika mendekati ambang pintu kamar Al. sekali lagi, keraguan meliputi diriku. Bagaimanapun aku dibesarkan dengan adat pedesaan yang sangat mengutamakan tingkah laku yang baik. Masuk ke kamar pria yang bukan suami atau saudara merupakan larangan keras.

Aku bersandar pada tembok dan menempelkan pipiku disitu. Tanganku mengetuk ringan dengan berirama. Aku menatap ambang pintu kamar Al yang hanya berjarak tiga langkah dari tempatku bersandar.

Setelah memejamkan mata sejenak, aku menegakkan tubuh dengan tiba-tiba. Aku sudah terlanjur disini. Masuk ke rumah orang tanpa izin juga larangan keras. Jadi terserahlah.

Aku berjalan dengan mantap. Langsung masuk ke kamar Al yang pintunya terbuka lebar, lalu terpaku di ujung tempat tidur dengan mata terbelalak dan bibir terbuka.

Aku tahu seharusnya aku langsung membalikkan badan lalu pergi. Tapi kedua kakiku seperti membeku. Nafasku memburu seperti baru saja lari marathon. Mataku terasa perih dan kepalaku berdenyut nyeri. Tapi rasa sakit yang paling parah ada di dadaku. Jantungku seperti diiris lalu diremas.

Entah berapa lama aku berdiri mematung. Mena-tap pria yang kucintai mempererat pelukannya di sekeliling tubuh wanita lain yang menggeliat dalam tidurnya. Mereka terlihat sangat nyenyak dalam peluk-an masing-masing.

Aku bisa melihat mereka mengenakan pakaian lengkap saat ini. Tapi entah apa yang sedang mereka lakukan samalam. Air mataku muulai membanjir saat bayangan mereka bergumul menghantam kepalaku seperti badai yang ganas.

Sebuah isakan yang menyakitkan terlepas dari bibirku ketika kenyataan lain menghantamku. Aku sam pai harus menggunakan kedua tangan untuk meredam isakan lain yang hendak keluar. Wanita itu yang se-dang terlelap dengan nyaman dalam pelukan Al, adalah Regita Revaldo. Aku merasa seperti mendapat hukum-an karena sudah menkhianati tunanganku serta kedua keluarga kami.

Tapi sebenarnya apa yang sudah kulakukan hing-ga aku di khianati tunanganku sendiri, rintihku dalam hati ketika teringat malam itu.

Tiba-tiba mata cokelat muda itu terbuka dan lang-sung menghunjam mataku yang basah. Dahinya berke-rut seolah berusaha memahami. Dia berusaha bangkit untuk menghampiriku ketika tubuhnya tertahan karena lengan Regita melingkari pinggangnya.

Cukup sudah. Aku menghapus air mataku yang tidak mau berhenti mengalir lalu menyeret tubuhku yang kaku. Aku merasa seperti menonton adegan mesum dari balik tirai.

"Dhea, tunggu!" suara Al tenang tanpa rasa ber-salah.

Ketenangannya membuat dadaku semakin sakit. Aku makin mempercepat langkahku. Penglihatanku buram karena air mataku terus mengalir. Aku nyaris jatuh tersungkur karena tersandung tepi meja di ruang tamu. Tapi untung saja Al dengan sigap menangkap pinggangku. Begitu tubuhku tegak kembali, aku lang-sung menjauhkan diri dari sentuhannya.

"Dhea, aku ......"

Aku langsung mengangkat tangan untuk menghen tikan ucapannya. "Tidak." Aku nyaris saja menjeritkan kata itu. "Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa." Aku cukup bangga karena bisa berbicara dengan tenang.

Al mengerutkan keningnya dengan bigung. "Aku juga tidak bermaksud untuk menjelaskan apapun. Aku hanya ingin bertanya, ada masalah apa hingga kau datang sepagi ini. Kuharap bukan sesuatu yang serius."

Aku menatap Al dengan tidak percaya. Tidak ada setitikpun rasa bersalah di wajahnya. Lalu sebuah pe-mahaman menusuk jantungku dengan lebih menyakit-kan. Al ingin berpura-pura bahwa tidak ada apapun yang terjadi di rumah ini. Baiklah kalau itu keinginan-nya. Aku juga bisa melakukannya.

Aku menghapus wajahku untuk menghilangkan sisa-sisa air mata. Kutatap wajahnya dengan menan-tang, berusaha sekuat mungkin menahan rasa sakit yang berdenyut di dadaku.

"Maaf, karena sudah mengganggumu sepagi ini." Nada suaraku terdengar begitu dingin dan kering. "Ha-nya saja, ada beberapa soal yang tidak bisa kuselesai-kan hingga membuatku tidak bisa tidur."

"Baiklah kalau begitu, bisakah kau menunggu sekitar lima belas menit? Aku mau mandi dan berganti pakaian dulu. Setelah itu aku akan mengajarimu."

Kedua tanganku mengepal dengan geram. Aku tidak menyangka Al bisa se-egois ini. Tidak bisakah dia melihat bahwa aku sudah hancur berkeping-keping. Bagaimana bisa dia berkata setenang itu dalam situasi seperti ini?

"Tidak usah." Desisku disela-sela gigiku yang ter-katup rapat. "Sebaiknya kau urus saja temanmu. Aku harus segera pulang."

Aku langsung berbalik tanpa menunggu jawaban-nya.

Aku tertahan di pintu depan yang terkunci tapi aku bersyukur karena kuncinya tidak dilepas dari lubang kunci. Begitu pintu terbuka aku nyaris melom-pat keluar.

Diantara hembusan udara pagi, kejadian menyakit kan tadi kembali muncul dalam benakku seperti film yang diputar berulang-ulang. Kembali air mataku mengalir dan aku membiarkannya.

Langkahku terhenti ketika hendak mencapai pagar tanaman di halaman rumah Al. Tidak ada suara memanggil, tidak ada langkah mengejar. Seperti inikah sosok Al sebenarnya di balik topengnya sebagai siswa cerdas dan pria menyenangkan yang telah mencuri hatiku?

Aku menoleh untuk melihat rumah Al sekali lagi. Tapi pintu itu sudah tertutup rapat. Seolah dia sudah tidak sabar lagi kembali kepelukan gadis di atas ranjangnya.

Akumenggigit bibir dengan kecewa lalu kembali melangkah menjauhi rumah itu. Akubertekad tidak akan pernah menjejakkan kaki lagi di rumah itu.  

 --------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Lelaki Misterius (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang