Malam itu, berduaan saja aku dengan sepotong lilin yang nyaris padam.
Dalam pendarnya, aku berkelakar tentang seuntai sajak yang tak jua tertuang bersama gemulai pena di atas lembar-lembar kertas. Sajak yang sejak setahun lepas menyarang di lobus frontalis dan tak kunjung lekang. Sajak yang ethereal, yang hingga kini tetap abstrak walau puluhan puisi terilham olehnya.Lalu, lilin itu nyalanya jadi gemetar.
Geraknya seirama nyanyian hujan yang kala itu membalas tuntas kerinduannya pada bumi yang mengerontang. Tubuhku ikut gemetar akibat belaian muson barat yang lembap mendekap. Katanya, "Terus saja tebar kelakarmu itu, Nona. Kalau saja akhinya tak lagi sempat tertuang sajakmu itu, seorang diri kau meraung-raung mengenangnya."Lalu dalam kegelapan aku diam dan menjadi gentar. Barangkali ia benar. Barangkali kelak aku meraung mengenang sajak yang merantau entah ke mana. Barangkali ia benar. Nyatanya, kelakar itu hanya pretensi yang makin hari makin menjadi. Kelakar itu menimbun, menggunung, menutupi kegamanganku hingga tak lagi tampak.
Namun aku tak tahu harus berbuat apa. Sajak itu begitu dekat, namun tampak pelik kuraih. Atau aku terlampau kecut untuk memercayai anomali yang menjamak setahun lepas. Yang pemicunya senatiasa terselip di sela doa yang mengucur dalam legamnya malam.
Katakanlah, apa yang sepatutnya ku perbuat jika sajak anomali itu ialah kamu?
[Dari saya, dengan segala tanya. Sekian.]
14/01/2017 21:39
Kutulis ini semalam waktu mati lampu, makanya berduaan sama lilin hahahahah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pelepasan
PoetryAku adalah larik-larik puisi di mana jawab bersembunyi. Aku menunggumu membacaku. Selalu. -nou