REWRITE - delapan belas : Tears and A plan

9.3K 826 149
                                    

Ino adalah sahabat sejak kecil Sakura. Sahabat yang sangat berarti bagi seorang Haruno Sakura. Mereka sering sekali bertengkar, namun mereka tidak pernah memutuskan untuk saling menjauhi.

Saat Sakura mempunyai masalah, orang pertama yang harus tau adalah Ino. Begitupun sebaliknya. Seperti saat ini, ketika Sakura merasa harus mencari tempat untuk mencurahkan isi hatinya, Ia akan mencari Ino.

Sakura duduk menyilang dengan pajama hijau pastel membungkus tubuhnya. Ino duduk menyilang dengan pajama biru laut. Mereka saling berhadapan.

Sakura memutuskan menemui Ino, sekaligus menginap di tempat sahabat pirang nya itu.

"Katakan apa yang terjadi?"Tanya Ino dengan penasaran. Ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.

Sakura menghela napasnya. Ino sudah mengetahui semuanya. Semua yang selama ini ia sembunyikan.

"Dia menelepon kemarin subuh."

Ucapan Sakura pelak mengundang keterkejutan bagi Ino. Ia memandang Sakura tidak percaya.

"Apa dia sudah gila?"

Sakura mengangguk pelan, "Dia menghubungi ku. Tapi aku tidak mengangkat telepon nya."

Tubuh Sakura bergetar saat mengatakan nya. Ia menatap lirih ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ino mengangguk pelan mengerti, "Jadi itu alasanmu datang kemari tanpa memberitahu terlebih dahulu? Sakura aku sangat khawatir kau tau."

Sakura memandang lirih Ino.

"Sakura, apa yang harus kukatakan? Bagaimana perasaan mu? Apa kau senang? Apa kau sedih? Apa kau marah?"Tanya Ino.

Sakura menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya.
"Aku takut."

Ino mengelus lengan sahabatnya itu, "Kenapa kau harus takut? Ya kau memang melarikan diri. Sakura saranku untukmu, kau harus kembali. Hadapi semuanya."

Bahu Sakura bergetar kecil, Isak tangis nya mulai terdengar.

"Aku tidak bisa Ino. Tidak, tidak untuk saat ini. Tidak saat aku merasa, aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan."

Ino memutar matanya bosan, "Kau adalah calon ketua dokter di KIH. Itulah kenyataan yang harus kau terima. Kenyataan yang sebenarnya."

Wajah Sakura merah, matanya sembab ketika ia menatap Ino. Ia mengelap air matanya cepat.
"Tidak Ino. Ini belum saatnya. Belum. Aku tidak tau."

"Lalu kapan?"

"Mungkin tidak untuk selama nya, karena aku tidak pantas menjadi seorang dokter lagi."

...

Bagi Ino sahabat diibaratkan seperti sebuah tempat. Tempat berbagai suka maupun duka. Walau ia lebih suka membagi dukanya hanya kepada Tuhan. Tapi ia tidak menampik bahwa ia butuh seseorang untuk mengeluarkan keluh kesahnya dan memberikan kata-kata penyemangat.

Saat ini ia juga sedang dalam kondisi yang benar-benar jatuh. Saat orang tuanya mengatakan bahwa ia akan di jodohkan, Ino merasa bahwa ia tidak mempunyai masa depan untuk ia pilih sendiri. Sekarang pun ia hanya bisa mengelus punggung Sakura dan berharap mereka berdua segera menemukan jalan keluar. Untuk saat ini setidaknya mereka bisa saling menguatkan. Mengingat Ino masih belum berbicara lagi pada kedua orang tuanya mengenai perjodohan itu.

Agar mereka berdua tidak terlarut dalam kesedihan masing-masing, Ino memutuskan untuk memberitahukan sehabatnya (Tenten, Hinata dan Temari) Untuk datang ke apartemennya.

Dan 25 menit kemudian ketiga sahabatnya itu datang seperti permintaan Ino. Mereka duduk melingkar di ruang tamu Ino. Pizza dan kue-kue dari Caffe Hinata berada di tengah-tengah. Girls time.

A PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang