Dek Fa sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu. Hari ini ia ada kuliah pagi, dan ia berjanji akan mengajakku ke Masjid Raya Seoul nanti siang, sekalian ia akan melaksanakan shalat Jumat di sana.Sambil membereskan sisa sarapan, obrolan kami semalam terus terngiang. Akhirnya, aku mengabaikan piring-piring itu dan duduk di meja makan. Masih memikirkan soal Chen, bias yang kuidolakan melebihi segalanya, beberapa tahun yang lalu.
Sungguh, semua ini terlalu mengejutkan. Siapa yang akan menyangka, bahwa kehidupanku akan bersinggungan erat dengan kehidupan idol yang dulu selalu kuimpikan? Ah, tapi aku tak pernah memimpikan kisah pahit seperti ini.
"Ish, kenapa sih mikirin amat. Orang nggak mungkin juga ah," aku menggelengkan kepala keras-keras. Tidak mungkin kan, semua ini nyata?
Kucubit pipiku keras. Sakit, ringisku. "ARGH, JADI SEMUA INI NYATA? NYESEEL SEMALEM NGGAK LIAT WAJAH DIAAA!" kujambak rambutku frustasi. Menyesal memang selalu ada di akhir. Ah, kenapa sih kesempatan melihat wajah tampan yang dulu memenuhi galeri ponselku malah terlewat begitu saja? Kan jadi kesel.
Meski yah, aku tak mengidolakannya lagi seperti dulu, tapi tetap saja. Melihat wajah yang dulu cuma bisa dilihat lewat layar kaca secara langsung bukan kesempatan yang akan datang setiap hari, bukan?
Kuraih ponselku, dan mengetikkan nama Chen di sebuah situs pencari. Kutelusuri kembali foto-fotonya. Sosok dengan garis wajah tegas, yang dengan melihatnya saja, tanpa sadar akan menerbitkan sebuah kebahagiaan yang tak terdefinisikan.
Sayang, rasa bahagia yang kerap muncul itu berubah. Menjadi sebuah rasa iba yang... ah. Lebih sulit dijabarkan dibandingkan bahagia yang dulu kurasakan.
Kutekan sebuah foto Chen yang sedang tersenyum lebar. Layar ponselku langsung terisi penuh dengan foto senyumnya. Senyum tanpa beban. Foto senyumnya, setahun yang lalu.
Cklek. Cklek.
Aku meletakkan ponselku cepat. Aku tidak salah dengar kan? Kenapa sepertinya aku mendengar suara kunci yang dibuka?
Kusambar jilbab kaosku, dan kuraih sebuah pisau, ketika suara lain muncul. Suara pintu dibuka.
Sempat terbersit untuk menelepon nomor polisi, Dek Fa, atau siapapun. Tapi tak akan sempat, karena sebuah langkah berat mengacaukan seluruh pikiranku. Sialnya, langkah itu malah terdengar mendekati arah dapur yang bergabung dengan ruang makan ini.
Kusiapkan kuda-kuda terbaik. Meski sebenarnya, rasa takut lebih menguasai. Hei, aku cuma seorang yang mampir sebentar, kenapa harus ada kejadian aneh sih?
"Faris-ah, aku..."
"Siapa?!" bentakku sambil mengacungkan pisau ke arah sosok jangkung yang baru memasuki dapur itu.
Aku terkejut saat mataku bertemu dengan kedua mata bening yang kini terbelalak melihat acungan pisau di depan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry ✔
General FictionKetika bertemu denganmu membuatku harus banyak meminta maaf. . . . With full love, kazehayaza.