Singkat. Bahkan, terlalu pendek untuk disebut singkat.
Iya, pertemuan dan interaksi langsung di antara kami hanya berlangsung tak lebih dari tiga hari. Hanya saat Nana mengunjungi Faris pada akhir pekan terakhir di bulan Januari, dua tahun yang lalu.
Di luar itu, mustahil sekali aku bisa berbincang, atau sekadar melihatnya.
Bagaimana tidak, semua akun sosialnya (yang kudapat dari investigasi via ponsel Faris, tentu dengan seizin sang empunya) tidak ada satupun yang menunjukkan wajahnya dengan jelas. Hanya foto profilnya di whatsapp (itu pun hanya tampak untuk kontak yang ia simpan nomornya) yang menunjukkan wajah manis khas asia tenggara.
Tidak masalah, Karena bukan masalah paras dan fisik yang membuatku jatuh terlalu dalam pada jerat kasat mata, yang mengikatku begitu erat ini.
Tapi, lewat sikap, perangai dan sifatnya, yang kukenal jauh, bahkan sebelum aku mengenal namanya.
Sifat dan kelembutannya yang terpancar lewat perlakuan Faris terhadapkulah yang membuatku jatuh cinta. Juga ribuan kalimat penyemangat, cerita, juga kadang candaan berfaidah yang Faris lontarkan. Semua mencerminkan pribadi yang─luar biasa menarik, bagi seorang Kim Jongdae, yang sering kalian sebut sebagai malaikat dengan sayap yang patah.
Meski kuakui, setiap manusia memiliki kekurangan di balik ribuan kelebihannya. Namun, kekurangan yang kutahu (lagi-lagi, lewat interaksi dengan Faris), malah membuatku makin penasaran dengan sesosok perempuan yang memiliki begitu banyak pengaruh untuk Faris, setelah ibunya.
"Dae-Hyung," suara berat Faris memecahkan lamunanku. "Masa, mbak─eh maksudku noona─ku bilang ia mau berkunjung akhir pekan."
"Jinjja?"
"Molla. Enak banget dia ngomong mau main." Faris mendengus. "Kaya mau beli snack di minimarket depan rumah aja,"
Aku tertawa, namun tak ayal, serbuan rasa penasaran dan harap untuk bertemu dengan sosok yang banyak membantuku bangkit secara tak langsung membuatku gelisah.
Sepertinya hal yang sama juga dirasakan Faris, Karena meski ia meragukan kedatangan kakaknya, ia tetap mengosongkan agendanya di akhir pekan. Ia bahkan mulai membereskan rumah─bayangkan saja bagaimana keadaan rumah dua orang lelaki; satunya cacat dan yang lain sibuk─dan memintaku untuk mencari tempat tidur di luar sana untuk akhir pekan.
Bahkan, aku masih mengingat dengan jelas luap kebahagiaan yang tertahan di telepon Faris, saat mengabarkan kakaknya sungguhan datang, dan sedang dalam perjalanan menuju apartemen.
Aku sengaja datang ke kedai kecil langgananku dan Faris sore itu, Karena aku yakin, Faris pasti akan membawa kakaknya ke tempat itu, sebelum ke tempat lain.
Sayangnya, noonanya tak sedikitpun mengindahkan kehadiranku saat itu. Aku hanya bisa melirik ujung scraft merahnya─yang sekarang kutahu, itu adalah kerudung atau khimar─sesaat.
Keesokan paginya, seperti biasa, aku memasuki apartemen untuk sarapan. Aku tahu, sang noona pasti ada di rumah. Namun, bukan maksudku untuk mengejutkannya. Salahkan Faris, yang ternyata lupa mengabari kakaknya bahwa aku akan tetap menumpang sarapan di tempatnya.
Namun, rasa bersalahku Karena ia sampai harus mengacungkan pisau dapur itu tak seberapa dibandingkan sesak yang kurasakan, saat ia─namanya Nana─mengetahui, bahkan Nampak mengasihani kecacatanku.
Kupikir setelah ini ia akan menjauhiku, atau memperlakukanku seperti bayi, atau malah enggan mendengarkanku. Tapi, tidak. Meski ia sempat marah dengan keputusasaanku, tapi ia bersikap selayaknya ia bersikap kepada manusia lainnya.
Sejujurnya, melihat rupa nyata seseorang yang banyak sekali menghiasi pikiranku setahun terakhir, membuatku tak tahan untuk menahan antusiasme, contohnya, dengan memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry ✔
General FictionKetika bertemu denganmu membuatku harus banyak meminta maaf. . . . With full love, kazehayaza.