Perjalanan Jongdae

542 55 3
                                    

3k++ words, jangan eneg yah wkwk.

Untuk mendapatkan yang terbaik, dibutuhkan usaha keras.

Aku meyakini betul hal itu, sehingga aku terus berusaha, meski jujur saja, semua tugas dan perintah dari calon mertuaku itu benar-benar menguras tenaga dan biaya.

Jika orang bilang, dipersulit dalam menghalalkan seorang perempuan cenderung membuat laki-laki menyerah dan patah semangat. Tapi menurutku tidak. Aku pantas menjalani semua ujian ini, Karena hadiahnya adalah hal terbaik yang tidak mudah dan tidak sembarang didapatkan.

Selang seminggu sejak kepulangan Nana dari Korea, aku makin membulatkan tekad untuk memeluk agama yang sama dengan Faris.

Jangan kalian kira, aku tertarik dengan agama Islam Karena Faris, atau Nana.

Aku memang awalnya terpesona dengan manner Faris yang mulia. Tapi, aku juga rajin berkonsultasi dan bertanya pada pengurus Masjid tempat Faris biasa shalat Jumat. Dan semua itu di luar pengetahuannya. Yaa, aku juga sering bertanya pada Faris, sih. Tapi Karena kesibukannya, aku lebih sering menghubungi pengurus masjid atau Dio, salah satu orang Indonesia juga seperti Faris, yang kebetulan kutemui di ruang takmir masjid. Akhirnya aku lebih banyak berkonsultasi dengan Dio, yang banyak menyempatkan waktu untukku di sela-sela kesibukannya menyusun tesis.

Aku baru mengabari Faris seminggu setelah syahadatku, aku pura-pura menabraknya di pintu masuk masjid. Lengkap dengan peci hadiah dari si kecil Khumaira dan baju koko perdanaku, membuat Faris melongo hebat hingga tak mampu berkata-kata. Setelah itu, ia menubrukku keras dengan isakan tertahan.

"Dae-hyuuung," raungnya. "A-aku, ba-ba-bahagia," lirihnya di sela tangis harunya.

Hatiku menghangat. Makin memantapkan tekadku untuk menjadi muslim yang lebih baik.

"Aku mau melamar kakakmu." Kataku sore itu. Faris yang sedang mencuci piring sampai memecahkan tumpukan piring yang baru ia keringkan.

Bocah itu sempat ngambek dan menjauhiku. Meski aku tahu benar bahwa ia senang dengan keputusanku.

"Tapi... nggak mudah menaklukkan Abiku, hyung." Faris memperingatkanku saat melepas kepergianku ke negeri asalnya, Indonesia. Ditemani Dio, yang kebetulan ada sedikit urusan juga terkait studinya. Aku mengangguk yakin. Meski yah, rasa khawatir dan cemas yang hebat mendera.

Aku makin kehilangan kata-kata saat duduk berhadapan dengan Abi Nana, yang mata beningnya sama persis dengan mata cantik putri tunggalnya.

"Jadi, ada perlu apa ya, nak, siapa tadi namanya?"

"─Jongdae pak." Dio mengambil alih pembicaraan. Aku memang sudah belajar Bahasa Indonesia, tapi belum cukup mahir untuk menemukan kata-kata yang tepat dalam, ehem, melamar seseorang. Jadilah Dio yang membantuku dalam hal ini.

Dio menjelaskan keadaanku dengan detail, serta menyampaikan maksud kedatangan kami ke sini. Kulihat wajah Abi mengeras, sebelum mengusirku dan Dio secara halus.

"Suruh dia belajar Bahasa Indonesia yang benar. Kemudian, pelajari lagi Islam dengan lebih mendalam."

Dan... kami pulang dengan tangan hampa. Aku sempat tertekan dan kecewa, namun kembali bersemangat setelah Dio membisikkan satu hal.

"Tadi si Abi bilang ke saya, biar kamu menikmati berislam dulu. Jangan buru-buru mengurusi anak orang. Gali dulu keindahan Islam. Beliau ingin kamu menjadi muslim yang hebat,"

Setelah itu, sebulan penuh kuhabiskan dengan berlatih membaca Al-Qur'an dan menghapal bacaan shalat. Faris, di tengah kesibukannya yang makin menjadi─kini ia menjadi staf resmi di sebuah studio animasi─menyempatkan untuk mengecek hapalan qur'anku dan mengajakku shalat malam. Tentu saja dengan bacaan yang dikeraskan. Alhamdulillah, atas kuasa-Nya, aku bisa segera menghapal dan terkadang aku bergantian dengan Faris untuk menjadi imam shalat.

Sorry ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang