다섯 : Dasot

617 73 33
                                    

Aku mencubit dua pipi gembil di hadapanku dengan gemas. "Dedeek umaaay, kok ndut banget sihh, pipinya dapet dari Ummi yaa?" godaku sambil terus memainkan sepasang pipi si gadis kecil, Khumaira.

Kak Afika, ibu si bayi berusia setahun itu menggembungkan kedua pipinya, kesal. "Enak saja. Tuh pipinya dapet dari tante!"
Aku tergelak. "Yee mana bisa ih, si kakak mah."

Ya, di sinilah aku. Masjid Raya Seoul, satu-satunya Islamic Center terbesar yang ada di ibu kota Korea Selatan. Jongdae pergi entah ke mana setelah memastikan aku sudah bertemu dengan Dek Fa. Sementara Dek Fa shalat jumat, aku bertemu dengan Kak Afika, kenalanku yang tinggal bersama anak dan suaminya di sini. Kita sudah heboh nggak karuan, saat kubilang akan berkunjung ke Korea. Ia pun mengusulkan untuk bertemu di masjid, sekalian mengantar Kak Dio, suaminya yang sedang S2 itu shalat jumat. Sekalian, ia merekomendasikan sebuah restoran India yang menyediakan makanan-makanan halal untuk makan siang bersama.

"Ihh Kak, nggak nyangka ya beneran bisa ketemu, kita." desahku senang. Bagaimana tidak, kami hanya tak sengaja bertemu di Instagram, kemudian malah berlanjut dengan obrolan akrab. Eh, ternyata takdir malah membawa kita untuk bertemu. Di negara orang pula!

Kak Afika tersenyum lebar, membuat lesunh di pipi kirinya terlihat jelas. "Semua atas kuasa Allah. Setiap pertemuan tak pernah lepas dari kehendaknya. Dan pasti ada hikmah di baliknya."

Aku memasang pose berpikir. "Hikmah kita ketemu apaan ya kak? Ah, kayanya bibit cabe rawit deh, hehe."

Pipi Kak Afika, yang tak kalah tembam dengan Khumaira, putri pertamanya, memerah. Iya, Kak Afika memang minta dibawakan bibit cabe rawit, saat tahu aku akan ke sini. Katanya, cabe di sini mahal. Padahal Kak Dio juga nggak doyan pedas, buat apa coba Kak Fika nitip begituan?

"Buat dedeknya Umay," tawanya saat kutanya. Aku langsung melongo.

"Haah? Kakak udah isi lagi?"

"Bercandaa, si Umay masih kecil gini," kata Kak Afika sambil mendudukkan Khumaira di pangkuannya. "Yang ada, harusnya Umay nanya nih ke Tante, kapan kasih temen main buat Umay,"

Pipiku memanas seketika. "Elah Kak, masih lama ah,"

"Kamu tuh udah lulus loh. Nunggu apa lagi?"

"Aku masih mau traveling. Aku juga masih ngurus usaha di rumah, sambil nunggu Dek Fa beres kuliah," aku mencoba mencari alasan.

"Perempuan, sebenarnya kan tidak boleh berpergian tanpa mahram. Dan pasti, dengan suami, pasti perjalananmu bakal lebih bebas, lebih aman, dan lebih menyenangkan." sanggah Kak Afika. "Usaha? Di rumah aja kan, usaha Abi kamunya? Bisa kali, sambil ngurus suami mah,"

"Apaan sih kak, suami-suami." sergahku, merasa canggung ketika Kak Afika menyebut suami. "Belom. Mau. Nikah. Sekarang."

"Eh beneran. Meski belum ada keinginan, kamu harus memikirkan dari sekarang. Menikah bukan tentang kamu dan dia saja, menikah itu tentang membangun peradaban."

Aku mulai penasaran dengan kata-kata terakhirnya. "Peradaban?"

Kak Afika mengangguk. "Iya, peradaban ummat, dimulai dari peradaban kecil yang bernama keluarga."

Akhirnya kami pun terlibat diskusi seru mengenai pernikahan. Aku, yang tadinya ogah membicarakan soal menikah dan tetek bengeknya, mulai tercerahkan.

"Jadi, aku harus bikin visi misi dari sekarang ya kak?" Kak Afika mengiyakan pertanyaanku.

"Aku jadi teringat kata-kata Kak Mawar, murobbiyah, alias tentor-ku dulu." Kak Afika menerawang, "Pernikahan yang berkah itu, ketika bertambahnya kebaikan yang dihasilkan. Baik itu pada kalian berdua, atau untuk orang lain."

Sorry ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang