“Dek, Mas pengen nyanyi lagi.”
Aku, yang sedang menyuap nasi langsung tersedak.
“Uhuk, uhuk—” Chen mengulurkan segelas air putih dan langsung kusambar cepat. “—makasih mas.”
Sembari menunggu aku selesai menenggak air, kedua mata Chen masih sibuk memperhatikanku dengan binar menuntut jawaban.
Jengah—antara dipelototi dan memikirkan jawabannya—akhirnya aku berhenti sok sibuk dengan si gelas.
“Err, kenapa harus izin?” tanyaku akhirnya.
“Kan kamu istriku.”
“Tapi, kamu nggak butuh izinku untuk melakukan apa yang kamu mau.”
“—Aku butuh.”
“Wae?”
“Karena… Aku masih belum paham, menyanyi seperti ini dibolehkan atau tidak.” kata Chen. “Dan lagi, kamu rela atau tidak, membiarkanku dilihat oleh banyak orang? Memangnya kamu enggak cembu—”
Aku memukul bahu lebarnya pelan. Membuat suamiku itu tertawa lebar. Ia tahu betul bahwa aku cemburuan, namun tak suka kecemburuanku itu diungkit. Posesif sekali, keluhnya. Tapi ia selalu mengeluhkan hal itu sambil tertawa tidak jelas. Menyebalkan!
“Memangnya kenapa sih Mas, tiba-tiba mau nyanyi?” tanyaku. Habisnya, sudah bertahun-tahun ia berhenti tampil, tahu juga kan, pita suaranya butuh waktu lama untuk pulih. Paling, hanya sesekali ia bersenandung di rumah.
Tiba-tiba Chen nampak bersemangat. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah surat yang sudah sedikit kusut. “Ada tawaran. Konser amal untuk anak yatim, di Jakarta kok, bukan di Busan—seperti tawaran bulan lalu.”
Aku tertawa kecil. Iya, bulan lalu ia juga mendapat undangan dan beberapa tawaran untuk hadir di beberapa yayasan tempat dulu ia biasa mendonasikan hasil kerja payahnya. Ah, bukan hanya bulan lalu. Juga bulan-bulan sebelumnya. Namun ya, karena kesibukan di sini, ia selalu menolak untuk hadir. Habisnya lumayan juga, ke Korea sana. Nggak mungkin juga kan, kami ke Korea hanya menghadiri undangan lalu pulang. Pasti Mama Kim dan oppadeul EXO akan mengamuk.
“Suara kamu… Nggak papa memangnya? Udah nggak sakit?” tanyaku khawatir.
Chen mencubit hidungku gemas. Dia selalu seperti itu, jika nampak rona khawatir di wajahku. Katanya menggemaskan, ish apa sih menggemaskannya, orang aku lagi khawatir!
“Berkat obat herbal dari kamu yang rasanya nggak karuan itu, udah enakan nih, Alhamdulillah.”
Oke. Aku nggak ada alasan lagi untuk tidak mengizinkannya. Pasti ia juga merindukan semua itu, dunianya kan dulu hanya seputar menyanyi dan panggung. Sesekali kayanya nggak masalah kan ya.
Tapi, aku nggak bisa berhenti melotot mendengar jeritan para penggemarnya yang—naudzubillah seabrek banyaknya. Ya ampun itu jeritan kaya teriakannya orang lagi disiksa. Kenceng amat.
Mataku sudah hampir keluar, ketika suamiku itu dengan tengilnya malah mengedipkan sebelah matanya di tengah penampilan. Oke, dadah-dadah dan senyumnya masih dimaafkan, TAPI ITU KUDU BANGET NGASIH LOVE SIGN?!
Aku beristighfar untuk kesekian kalinya dan menenggak habis air mineral yang disediakan. Nggak lagi ah ngizinin dia, kalo di panggungnya kecentilan gitu. Ngomongnya aja konser amal, tapi yang datang dedek gemesnya dia semua. KZL.
*selingan tengah malam uhuks. Btw ini pernah diposting di tumblr. Thx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry ✔
General FictionKetika bertemu denganmu membuatku harus banyak meminta maaf. . . . With full love, kazehayaza.