여섯 : Yosot

545 73 11
                                    

"Minum dulu," Jongdae mengangsurkan secangkir coklat panas yang masih mengepul ke hadapanku. Aku masih bergeming. Antara mencoba menghentikan isakan dan menenangkan diri.

Menyerah melihatku yang tak merespon, Jongdae mendekatkan cangkir itu ke tanganku. Aku masih, entahlah. Rasanya terlalu berat untuk sekadar menerima cangkir itu. Akhirnya Jongdae meraih tanganku dan menggenggamkan cangkir itu di antara kedua tanganku.

"Minum dulu, ya? Setelah itu, boleh nangis lagi," ujarnya lembut.

Bibirku bergetar. Kucoba menyesap coklat yang sudah agak mendingin itu pelan, tapi gagal. Tangisku malah pecah, membuat wajahku mebali dibasahi air mata.

"Maaf," lirih Jongdae di tengah tangisku. Ia menegakkan duduknya dan menunduk. "Maaf karena tidak datang lebih cepat."

"Te-te-rima ka-sih, jus-tru, oppa da-tang di saat yang hiks, tepat." sahutku, masih terputus-putus karena tangis yang tak kunjung reda. Iya, Jongdae datang tepat sebelum paman mabuk itu sempat berbuat apapun. Dan aku bersyukur amat dalam soal itu.

"Tidak, aku minta maaf." Lelaki di depanku itu mengangkat wajahnya. Mata hitamnya memandang lurus, tepat ke dalam manik hitamku yang masih mengalirkan air mata. "Maaf karena tak bisa memelukmu. Maaf karena tak bisa menepuk bahumu dan menenangkan dirimu. Maaf... Karena tak bisa menghapus air matamu."

***

Hari terakhirku di Korea. Aku bangun kesiangan, dengan mata yang bengkak. Rambut awut-awutan, wajah kucel karena lupa cuci muka, dan yang baru kusadari, aku tertidur di sofa ruang tengah.

Kuusap wajahku kasar, karena tiba-tiba teringat kejadian semalam. Argh, aku memang ceroboh. Karena rasa khawatirku yang terlalu besar, aku malah mengabaikan keselamatan diriku sendiri. Jika tidak ada Jongdae...

Pipiku mendadak menghangat, mengingat kata-katanya semalam. Maaf...

Lamunanku buyar dengan suara gedebukan dari kamar Dek Fa. Aku hampir lupa, semalam ia demam. Segera, aku memburu ke kamarnya. Aku terkejut mendapati Dek Fa yang sedang berusaha memakai dasi. Hei, apa-apaan itu? Dia mau pergi sepagi ini? Setelah semalam demam sampai mengigau?

"Aku pergi dulu," Ia melewatiku sambil terburu memakai kaos kaki dan sepatunya.
Aku menggigit bibir bawahku, antara kesal, marah dan ingin melempar sesuatu ke kepala bocah menyebalkan itu.

"Kamu tuh masih sakit, seenggaknya—"

"Aku buru-buru. Assalamualaikum." potongnya sambil keluar dari apartemen.

Entah aku sedang terlalu sensitif karena apa, setetes air mata jatuh, lolos dari ujung mataku.

Ya ampun. Dia nggak tahu, apa? Aku sudah mengompresnya semalaman, mencarikannya obat, hingga diganggu orang mabuk... Dan dia cuma bilang sedang buru-buru dan langsung pergi?!

Rasa kesalku memuncak di ubun-ubun, membuat mataku panas. Akhirnya kubanting pintu kamar, dan mengunci diri di bawah gelungan selimut. Aku menangis, lagi. Kali ini tanpa sebab yang jelas. Yah, kadang hanya dengan menangis, perasaanmu akan lebih tenang.
Iya, meski masalah tak akan selesai dengan tangis. Paling tidak...

Tiba-tiba pipiku memerah. Teringat, semalam, tanpa sadar aku memeluk Jongdae dan menangis entah berapa lama di dada bidang pria itu. Argh, kenapa memalukan sekali?

"UMMIII, AKU MAU PULAAAANG!" jeritku frustasi. Ah, kenapa tiba-tiba kejadian semalam terulang lagi di pikiranku sih?

"Maaf karena tak bisa memelukmu. Maaf karena tak bisa menepuk bahumu dan menenangkan dirimu. Maaf... Karena tak bisa menghapus air matamu."

Aku menyembunyikan kepalaku di dalam selimut dan menjerit sekencang mungkin. Aku mimpi kan? Jongdae oppa... Nggak mungkin ngomong hal semanis itu padaku kan?

Sorry ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang