That Fajr (Jongdae side)

523 72 13
                                    

Annyeonghaseyo. Je ireumeun, EXO CHEN-imnida.

Ah, sudah lama sekali aku tidak memperkenalkan diri sebagai Chen, yang dikenal sebagai main vokal sebuah boyband yang eum, cukup terkenal di kancah dunia.

Duh. Aku jadi teringat sensasi menyenangkan saat sedang menari di atas panggung─aku tahu aku payah dalam dance─dan bernyanyi dengan nada tinggi yang membuat para penggemar, dan semua orang berdecak kagum.

Kuusap tengkukku pelan. Rasanya baru kemarin aku melakukan hal seperti itu. Tapi kini, semuanya berubah.

Dulu, di jam yang sama, aku pasti baru pulang dari acara musik yang penuh hingar-bingar.

Atau mungkin, baru pulang latihan, langsung menjatuhkan diri di Kasur, masih dengan tubuh penuh keringat. Kemudian Minseok-hyung yang hapal betul dengan kebisaaanku akan memaksaku bangun, menyeretku untuk mandi.

Ah, kemungkinan lain. Bisa jadi aku baru pulang dari minum-minum bersama para member lain, merayakan keberhasilan lain kita.

Senyum tipis terukir di bibirku.

Kini, di jam ini, aku sedang duduk termenung dalam munajat panjang di sepertiga malam terakhir. Di atas sajadah tipis, di sudut kamar mungil.

Kubetulkan posisi peci yang miring, dan kurapikan kembali anak rambut yang berantakan. Sudah hampir subuh. Aku harus segera shalat tiga rakaat, witir.

Belum sempat tubuhku bangkit, sebuah tangan merangkul leherku dari belakang.

"Hmm? Kok nggak ngebangunin aku sih Mas?" suara manja yang sangat kusukai itu merengut. Kulepaskan tangan yang melingkar erat leherku itu lembut.

"Kan kamu lagi nggak shalat Dek, Mas tahu kamu pasti kecapekan, makanya Mas kasih istirahat lebih buat kamu," Aku menoleh, mencoba menatap wajah kesal istriku. Ah, pasti bibirnya sudah maju tiga senti...

Cup!

Sial.

"Iya, dedek ngerti kok. Mas lanjutin gih shalatnya. Ntar kalo mau ke masjid, bangunin aku aja ya." Setelah mencuri ciuman singkat di sudut bibirku, ia dengan santai kembali ke dalam selimutnya, dan terlelap dengan cepat.

Duh. Shalatnya jadi nggak khusyu gini kan....

Kuselesaikan shalatku cepat, dan kuhampiri sosoknya yang masih terlelap. Kupandangi setiap sudut wajahnya, yang entah kenapa, tak pernah henti membuatku takjub dan kagum. Hingga tanpa sadar, jemariku sudah menyentuh wajah cantik itu, mengusap puncak kepalanya lembut.

"Dedek, sayang, bangun yuk. Bentar lagi adzan nih," kataku pelan. Meski hatiku menginginkan ia tetap terpejam, sehingga aku bisa puas memandangi wajah tenangnya, aku tetap harus membangunkan malaikat cantikku ini.

Ia mengerang sejenak. "Udah adzan emang?" tanyanya, masih dengan mata yang tertutup.

Aku diam saja, masih terlalu asyik menekuri rambut kecoklatannya yang halus. Karena tak ada jawaban, dua mata indah itu terbuka. Tatapan sayu setengah mengantuk yang selalu membuatku lemah itu menerbitkan senyum lebar di bibirku.

"Ngapain sih, melek-melek malah langsung ketemu senyum gaje kamu," Ia mengubah arah, menjadi membelakangiku. Aku tertawa kecil.

"Maaf."

"Apaan sih?! Maaf lagi?!"

Aku makin terkikik mendengar balasan darinya. Kurengkuh bahu kecilnya dengan hati-hati. "Maaf, aku tak bisa menahan senyumku Karena terlalu bahagia."

"Basi." Sahutnya singkat, mencoba menyamankan diri dalam pelukanku. "Setiap hari kamu ngomong kaya gitu. Sudah setahun penuh dengernya─"

Bibir cantik itu terkatup. Sepertinya ia baru sadar akan hari istimewa kami.

Sorry ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang