Another busy day.
Yang biasanya diributkan dengan Dek Rio, si bungsu yang adaaa saja keperluan sekolahnya yang tertinggal, hari ini disibukkan dengan puluhan ibu-ibu yang berseliweran kesana-kemari, menyiapkan hidangan untuk ratusan tamu yang akan datang.
Halaman depan sudah disulap. Yang tadinya kosong, sekarang sudah berdiri tenda-tenda kokoh dengan warna hijau toska lembut.
Teras rumah yang lebarnya seperti pendopo itu di-make over menjadi sebuah panggung. Di sebelah kanan dan kirinya, ada kursi besar bak kursi singgasana itu kata Dek Hamzah; untuk kedua mempelai. Tak lupa, ada sekat kain yang memisahkan antara tamu laki-laki dan perempuan.
Btw, ada acara apa ya, ini?"MBAK NANA, ISTIGHFAR COBA, HARI GINI MASIH GOLERAN DI KASUR AJA?!" Hai pagi yang tenang, terima kasih sudah mendatangkan Dek Fa untuk mengacaukan hari.
"Berisik. Aku tuh lagi menenangkan diri tauk,"
Tak peduli apapun alasanku, bocah itu tetap menarikku dengan barbar, memaksaku untuk masuk ke kamar mandi. Ia memberi kode pada mbak-mbak tukang rias untuk menyiapkan segalanya.
Dua jam kemudian, seorang Nana yang kucel setelah menyembunyikan wajahnya di balik selimut sepanjang malam, sudah berubah bak ratu sejagat.
Dek Fa, yang mengawasi penuh proses pendandananku mengacungkan jempolnya. Ah, dari tadi dia cerewet sekali. Yang tidak boleh cukur alislah, nggak boleh pake bulu mata palsulah. Iya sih, aku tahu dua hal itu dilarang. Tapi sepertinya, tanpa adanya Dek Fa, aku hanya bisa diam menerima segalanya.
Jujur, aku masih shock berat soal akad yang tiba-tiba itu.
"Abi kok nggak bilang-bilang?!" protesku.
"Kan kata kamu terserah Abi."
"Iya sih, TAPI MASA TAU-TAU AKU JADI ISTRI ORANG SIH BI?!" jeritku gemas. Ah, aku sudah tidak peduli dengan jemuran. How's life, my future?
Abi tersenyum menenangkan. "Bukannya kamu yang selalu bilang, bahwa Abi nggak mungkin menyesatkan hidup anak perempuannya kan?"
Aku mengangguk pelan dengan bibir yang bergetar. Abi langsung merengkuh bahuku, membuat tangisku pecah.
Kenapa sih, harus halaman belakang dan jemuran?
Aku tertawa kecil mengingat lagi kejadian tempo hari.
"Mbak, aku keluar ya. Gantian Masnya yang masuk, dia mau liat mbak didandanin juga." pamit Dek Fa. Aku sudah mau mencegahnya, tapi dia terlanjur melarikan diri.
Duh. Rasanya mau gigit jari. Huhuu. Tapi hennanya masih belum menempel sempurna. Btw, aku pakai henna putih yang sekali pakai, semacam stiker nggak permanen gitu. Nah. Kok malah jadi endorse gratis gini. Abaikan.
Jantungku makin bergemuruh, mendengar suara pintu dibuka sekali lagi, dan ritme langkah yang sudah kuhapal menghiasi gendang telinga.
"Mas, sudah didandani nih mbaknya. Eh tunggu mas, itu si mas bedaknya luntur." celoteh si mbak-mbak tukang rias. Ruang rias untuk pengantin memang dipisah, meski sebenarnya, ehem, kami sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Tapi, kalau boleh jujur, aku belum pernah sekalipun mengobrol langsung sejak akad dengannya. Canggung banget nggak sih? Kubiarkan saja ia dan Abi yang rempong ngurusin acara resepsi.
"Ah, biarin aja mbak. Nanti saya ke ruang rias lagi." jawabnya pada mbak-mbak tukang rias. "Maaf, mbak bisa keluar dulu?"
Hei, jantung. Bisa tenang sedikit tidak? Rasanya, semakin kencangnya ia berdetak, otakku juga makin tak karuan."Nana-ya, gwenchana?"
Aku terkejut, namun belum bisa mengalihkan pandanganku dari kaca besar yang ada di depanku. Nampaknya ia mengerti bahwa aku terlalu gugup untuk berbalik dan berhadapan langsung dengannya.
"Maaf," lirihnya pelan. Membuatku terkejut, dan reflek memandang pantulan mata hitamnya yang memandangku tajam sekaligus sendu, lewat pantulan kaca.
"Untuk apa?" Dengan suara bergetar, aku mencoba bertanya.
"Maaf karena tak pernah memberi kabar. Maaf karena datang tiba-tiba. Maaf, karena tak bisa menghapus senyummu di pikiranku selama setahun terakhir, dan... Maaf karena aku mencintaimu begitu dalam."
Mataku mulai berkaca. Namun seulas senyum terpatri dalam wajah yang kini menatapku lembut, masih dalam pantulan kaca rias.
"Kau tahu, tak seharusnya seorang laki-laki banyak mengucap maaf pada wanitanya," Aku berbalik, menatap sosok tegap yang entah kenapa hari ini terlihat begitu tampan. "Sebaliknya, kau harus banyak mengucap terima kasih."
Senyum itu melebar, menggambarkan rasa bahagia yang amat ketara.
"Terima kasih karena selalu datang."
"Terima kasih karena tak menyerah menghadapi Abi."
"Terima kasih, karena terus berusaha keras."
"Terima kasih, karena tak lelah mengingat dan memperjuangkanku setahun terakhir."
"Dan... Terima kasih karena sudah dan akan selalu mencintaiku dengan dalam."
***
"YA ALLAH MBAK, UDAH WAKTUNYA KE DEPAN, KOK HENNANYA MALAH LEPAS SEMUA?! EH BEDAKNYA JUGA. LIPSTIKNYA JUGA. MASNYA SABAR DULU DONG, MASIH SIANG, MBAKNYA GAK BAKAL KABUR KEMANA-MANA KOK,"
Omelan mbak-mbak tukang rias, lagi.
(belum) END.
***
Length: 718 words
Published: 2017, 2 March
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry ✔
General FictionKetika bertemu denganmu membuatku harus banyak meminta maaf. . . . With full love, kazehayaza.