III. An Oath

97 14 14
                                    

Sikap Richard yang mendadak berjarak tentu membuat Emily bingung, tapi saat ini ia tidak mempunyai waktu untuk duduk termenung memikirkan hal itu. Mendadak tugas yang harus ia kerjakan sebagai putri kerajaan bertambah banyak. Stalin mulai mengajarinya tentang politik, ayahnya sering memberinya soal analisis, ibunya sendiri juga menanyakan beberapa hal yang selalu diawali dengan 'seandainya kau naik tahta', dan semua hal itu tidak disukai oleh Emily.

Ia tidak menginginkan tahta.

"Emilia Gracie!"

Nyaris saja buku yang ada di tangannya jatuh ke tanah. Gadis yang namanya baru diteriakan itu menoleh untuk menatap yang memanggilnya, yang adalah tak lain tak bukan sang ratu sendiri, ibunya. Mereka berdua sedang duduk di taman, dan atas permintaan Adrianna, tidak ada ksatria yang berjaga dekat mereka. Emily tentu senang dengan permintaan ibunya itu, tapi ia di haruskan mengenakan gaun dan bertingkah anggun; seperti seorang putri pada umumnya.

"Ada apa? Ibu sudah memanggilmu berulang kali tapi kau tampak memikirkan hal lain saat ini."

Emily menggigit bibir bawahnya. "Maafkan aku, Ibu."

Adrianna menatap putri sulungnya itu. "Kau tahu kau bisa menceritakan semuanya pada ibu."

Senyuman tipis muncul di wajah Emily. Tentu saja ia tidak bisa mengatakan pada ibunya kalau ia tidak menginginkan tahta, dan terlebih lagi ia tidak bisa menceritakan pada siapapun mengenai tingkah Richard yang aneh. Ia tidak ingin membuat sebuah kabar miring tersebar di istana. Itu tidak bagus untuk kesehatan ibunya yang semakin hari tampak melemah.

Ratu kerajaan Vleredora itu tampaknya menyadari kegelisahan anaknya, tapi ia juga tidak mendesak Emily untuk mengatakannya. Bagaimana juga, Emily sudah berusia 17 tahun, ia sudah bisa memutuskan untuk dirinya sendiri.

"Ibu."

"Ya?"

Emily menatap ibunya. Secara fisik mereka berdua mirip sekali, walau secara sifat, ia mewarisi sifat ayahnya dulu saat ayahnya masih muda. Untuk sesaat, Emily tidak bisa mengatakan apa yang tadi hendak ia tanyakan pada Adrianna. Butuh beberapa detik dan satu helaan nafas baru ia bisa mengatakannya.

"Apakah ibu menginginkanku naik tahta menggantikan ayah?"

Kedua mata Adrianna yang berwarna biru menatap langsung ke arahnya. Wanita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Emily. Tangannya terangkat dan dengan lembut mengelus kepala putri kesayangannya itu.

"Tentu saja," Jawab Adrianna, membuat Emily harus menahan diri untuk tidak meringis. "Tapi aku tidak akan memaksa. Kau adalah putriku, aku akan mendukung apapun keputusanmu."

Kata-kata Adrianna selanjutnya sama sekali tidak disangka oleh Emily. Ia selalu berpikir bahwa ibunya akan menyuruhnya ikut bersaing dalam perebutan tahta. Gadis itu lalu memeluk sang ratu dengan erat, yang tentu saja dibalas oleh yang bersangkutan. Namun pelukan mereka tidak bertahan lama karena salah satu maid pribadi Adrianna mendadak mendatangi mereka.

"Yang Mulia, sudah saatnya pengobatan anda lagi."

Emily mengerutkan keningnya. Ia tahu jelas mengenai kondisi ibunya dan bagaimana tabib istana selalu merawat Adrianna sehingga dia cukup sehat setiap harinya. Tapi akhir-akhir ini jam pengobatan Adrianna bertambah banyak, dan hal itu membuat Emily cemas. Kecemasan Emily tampaknya dirasakan oleh Adrianna, yang lalu menepuk kepala Emily dengan lembut sebelum bangkit berdiri dan berjalan kembali menuju kamarnya, meninggalkan Emily yang masih memegang buku pemberian ibunya.

Helaan nafas kembali terlepas dari kedua bibir Emily. Tanpa sadar, tangannya mengelus sampul buku yang cukup tebal itu. Ibunya memberinya buku sebagai hadiah ulang tahun walau mengetahui Emily tidak suka membaca.

ScrimmageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang