IV. Surfaced Feelings

110 11 10
                                    

Angin laut menerpa wajah Richard. Pemuda itu sedang bersandar di geladak kapal laut yang melaju membelah ombak. Kapal yang saat ini ia naiki lebih mewah daripada kapal manapun yang pernah ia naiki sebelumnya, tapi tetap saja laut bukanlah hal yang mudah ditaklukan. Ia saat ini diberikan tugas menemani Emily dalam kunjungannya ke kerajaan di seberang lautan, menghadiri pesta ulang tahun putra mahkota kerajaan Greovia. Bukan pekerjaan yang sulit, karena Emily diperintahkan untuk bertingkah baik selama berada di kerajaan lain oleh sang raja, dan tentu saja putri itu akan mematuhinya. Emily tidak pernah membantah perintah langsung sang ayah.

"Richie."

Kaget, Richard menoleh. Ia sama sekali tidak menyangka Emily akan naik ke atas geladak. Muka gadis itu pucat pasi, dan yang jelas tidak dalam kondisi fit. Siapa yang menyangka Emily mempunyai mabuk laut yang parah? Selama perjalanan mereka, gadis itu diam di kamarnya, namun tetap saja tampaknya rasa bosan tinggal di kamar mengalahkan ketidaksukaan Emily terhadap laut.

"Kembalilah ke kamarmu, Em."

Emily menggeleng pelan. Jelas menolak untuk kembali sendirian di kamarnya di kapal itu. Lagipula di dalam kamar ataupun di luar, tetap saja guncangan kapal terasa baginya. Ia bahkan berpikir mungkin angin segar bisa membantunya.

Walau jelas ia salah.

Richard membawa gadis itu kembali ke kamarnya dengan cepat. Menggerutu setelah memaksa Emily tidur di kasurnya. Tapi saat Richard hendak beranjak kembali, tangan Emily menarik lengan baju pemuda itu, menahannya agar tidak pergi.

"Em.."

"Aku bosan sendirian disini."

"Kau tahu jika ada yang mengetahui hal ini, raja akan membunuhku."

Gadis itu tertawa pelan. "Dan sudah berulang kali ku bilang, aku tidak akan membiarkan ayah melakukan hal itu." Tangannya menarik Richard untuk duduk di tepian kasurnya lagi. "Kau adalah ksatriaku, bahkan ayah tidak berhak menghukummu."

Sudah sebulan lebih sejak pemuda itu mengucapkan sumpah setia pada Emily, walau tidak ada yang mengetahui tentang hal itu. Baik Richard maupun Emily memiliki perjanjian tanpa suara mengenai merahasiakan hal ini.

Menyerah dengan keinginan Emily, Richard kembali duduk dan menatap gadis itu. "Jadi? Apa yang harus kulakukan?"

"Entahlah. Hibur diriku?"

"Em, aku seorang ksatria, bukan pelawak."

Sekali lagi Emily tertawa, membuat Richard berpikir, mungkin tidak ada salahnya ia mempelajari lelucon dari teman-teman ksatrianya yang lain untuk menghibur Emily sekali-sekali. Atau mungkin tidak, karena ketika teman-teman ksatrianya berkumpul dan bertukar lelucon, biasanya itu tidak layak untuk didengar seorang putri kerajaan.

Tangan Emily masih memegang lengan baju Richard. Bersama pemuda itu membuatnya lebih tenang, walau apa yang ia inginkan mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Tapi ia tidak ingin memikirkan hal itu saat ini. Matanya melirik ke arah Richard, yang sayangnya sedang melihat ke arah lain.

"Aku tidak tahu kau membaca."

Emily memukul pelan lengan Richard. "Apakah itu hinaan?"

"Hanya kaget," Balas Richard, terkekeh pelan. Pemuda itu meraih buku yang ada di meja kecil di samping kasur Emily. "Kumpulan puisi?"

"Hadiah dari ibuku." Emily mendapatkan buku itu sehari setelah ulang tahunnya yang ke 17. Ibunya memang memberikan hadiah lain, termasuk kalung yang ia pakai saat ini, tapi buku inilah yang selalu ia bawa kemana-mana. Kadang ia membacanya sebelum tidur, dan selalu jatuh tertidur saat membacanya sehingga sampai sekarang, ia belum menyelesaikan membaca seluruh buku itu.

ScrimmageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang