Key & Rey

944 55 1
                                    

Ketika bulan dan matahari memiliki fungsi yang sama, namun mereka ada dalam garis yang berbeda. Begitupun dengan butiran pasir yang meagung-agungkan bintang, namun hanya bisa dilakukan dalam desiran angin yang tak mungkin didengar oleh bintang. Semua itu perwujudan antara Key dan Rey. Nama mirip, hobi sama, satu kelas, satu angkatan, dan satu sahabat. Sayangnya, Key melihat Rey seperti bintang bersinar yang cukup terang dikala mendung menyelimuti. Bukan lagi, Key menganggap laki-laki itu bak pangeran tampan yang menjadi pujaan para gadis. Dan, naasnya Key harus terkunci dalam status yang membuatnya tidak bisa menguarkan perasaannya sama seperti gadis lain. Sebagai sahabat, dia harus bisa melihat Rey dari sisi teman, bukan laki-laki.

"Key, ngapain lo disini?"
Tanya laki-laki itu seraya duduk disamping Key yang sedari tadi termenung dengan memainkan pasir di kakinya.

"Melihatimu,"
Jawab Key tanpa kendali.
"Eh maksudnya, ngeliatin para fans lo tuh, yang tebar pesona, sok caper sama lo. Kenapa ya, mereka nggak kebuka mata hatinya, siapa yang sebenernya mereka sukai. Cowok macam lo?"
Dan gadis itu tersenyum miris, menertawai Rey. Padahal tawanya itu untuk menghina dirinya sendiri, yang tidak tau malu sudah meremehkan Rey, dan mengatai para gadis itu, sedangkan Key sendiri sadar bahwa dirinya ada dalam barisan gadis-gadis itu.

"Halah, bilang aja lo cemburu. Pakek ngatain mereka segala."
Sahut Rey yang selalu mendengar gerutuan sahabatnya itu kala dirinya sedang dihampiri para gadis yang penuh alasan untuk bisa dekat dengannya.

"Siapa? Jangan mimpi gue cemburu sama lo!"

"Yakin?"
Ucap Rey dengan menatap lekat gadis itu, menyebabkan Key harus kehilangan pertahanannya. Yakin? Pertanyaan itu seperti menantang Key.

Gadis itu mengangguk, dan mencoba mengakhiri percakapan yang akan semakin membuatnya berbicara jujur, bahwa dia sama dengan gadis yang lainnya. Key berdiri, dan mengucap bye. Namun, suara bariton berhasil memberhentikan langkahnya.

"Key, tunggu,"
Dan, gadis itu pun berbalik untuk melihat Rey yang tetap pada posisi duduknya. Laki-laki itu sedang menimang, sebelum berbicara lagi.
"Lo mau kemana? Duduk sini, ada yang mau gue omongin."
Ucap laki-laki itu, membuat Key harus mengikuti permintaannya.

"Apa?"
Tanya Key.

"Lo tau Kinan kan?"

Key melirik keatas, mengobrak-abrik memorinya. Kinan ya? Siapa? Tidak ada nama itu dimemori otaknya.

Key mengendikkan bahu, tanda tidak tahu.

"Kinan, temen sekelas kita waktu SMP, dia kan dulu pindah ke luar kota karna ikut orangtuanya, inget nggak? Yang pinter, selalu jadi pemenang olimpiade matematika, dan yang jadi siswa teladan setiap tahun. Inget kan?"
Rey coba mengingatkan Key, dan secara otomatis ingatannya dalam masa lampau terputar juga. Rey selalu menyebut gadis itu sempurna, cantik, baik, dan pintar. Tapi Rey melupakan bahwa Key pun menjadi saingan gadis itu, meski harus selalu menjadi juara 2 setelah Kinan. Namun, apakah laki-laki itu pernah menganggapnya seperti menganggap Kinan? Padahal selama itu juga, Key ingin menjadi seperti Kinan agar bisa dilihat oleh Rey selain sebagai seorang teman.

"Ya, gue inget."

"Naah, sekarang dia balik lagi ke kota ini. Dan, teman SMPnya dulu yang pertama kali dia hubungi, itu gue."

"Terus?"
Key tau bahwa akan seperti ini. Rey suka Kinan, Kinan pun suka Rey. Cepat atau lambat, jika Tuhan mengijinkan, mereka akan bertemu lagi, dengan perasaan yang sama. Rasa takut tiba-tiba menyelimuti hatinya, namun Key coba mengabaikan itu.

"Ya, kita cuman chat biasa sih. Sampek akhirnya, gue beraniin buat ngajak dia ketemuan, alesannya reuni kecil. Bagus kan ide gue?"
Ucap Rey.

"Ya, bagus banget. Nggh, gue kayaknya ada perlu. Lo bisa cerita ini lain waktu kan? Atau setelah lo ketemu dia? Biar sekalian. Gue pergi dulu ya."
Balas Key langsung berdiri, mencoba pergi dari Rey, dia tidak mau mendengar lagi kebahagiaan Rey. Ah rasanya sangat egois, membiarkan Rey tidak berbahagia. Key tidak sejahat itu, apalagi pada Rey. Biarkan hatinya sendiri yang sakit, jika itu demi Rey bahagia.

"Buru-buru amat? Padahal gue mau ngajak lo ketemu sama Kinan. Ayolah, apa lo nggak mau ketemu sama saingan lo dulu?"
Rayu Rey agar sahabatnya itu mau.

"Cukup lo wakilin aja ya."
Jawab Key kekeh pada pendiriannya.

"Gue gugup."

"Lo udah kencan sama cewek berapa kali? Masih aja gugup."

"Ini beda. Dia Kinan."
Jawab Rey. Ya, Key tau itu.

"Halah, anggep aja kayak yang lain. Gampang kan?"
Ucap Key jengah. Dan dia baru sadar setelah beberapa detik, bahwa Key sedang mendapat tatapan tajam dari laki-laki itu.
"Apa?"

"Dia bukan kayak yang lain, itu nggak gampang. Lo harus tau itu."
Ucapan itu tajam seperti pandangannya. Membelah pertahanan Key yang hampir terbelah. Selama bertahun-tahun, gadis itu mencari cara agar Rey bisa marah padanya, agar rasanya bisa perlahan melebur, namun selama itu juga Key kewalahan mencari cara, Rey tidak pernah marah, bahkan selalu bersikap manis. Tapi sekarang? Tanpa sengaja, Key telah membangunkan singa yang tidur. Key tiba-tiba membeku, kala pandangan Rey masih tertuju padanya.

"Ah sudah, lupakan."
Meskipun begitu, Rey bukanlah laki-laki emosional yang sewaktu-waktu bisa meledak, dia menghargai Key sebagai sahabatnya, tidak mungkin dia memarahi hal sepele yang dilakukan Key karena sedikit menyinggung perasaannya. Maka laki-laki itu ikut berdiri mensejajari Key. Tatapan intimidasi yang sebelumnya sudah hilang menjadi tatapan yang meneduhkan. Rey merasa bersalah.

"Maaf."
Ucap Key.

"Ini salah gue."
Balas Rey.

Key melihatnya, tidak mengerti dengan yang dimaksud Rey menyalahkan diri sendiri.

"Maksud lo?"

Rey memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Key.

"Ini salah gue. Nggak seharusnya gue berbicara tentang Kinan. Dia saingan lo dulu, bagaimanapun juga lo pasti masih merasa nggak enak. Nggak seharusnya gue ngajak lo."

Key memejamkan matanya pelan, rasanya panas dan pedih. Apa laki-laki ditakdirkan untuk tidak peka pada perasaan perempuan?
Kenapa difikiran Rey hanya tentang persaingan dulu, kenapa dia tidak berfikir bahwa Key pun merasa tersaingi masalah hati Rey. Tanpa susah payah, Kinan bisa saja mendapatkan Rey, sedangkan Key? Butuh seribu tahun lagi, hanya untuk Rey mengerti perasaannya.

"Baiklah. Sudah tau alasannya kan? Gue pergi."
Ucap Key melangkah pergi, melewati Rey yang sedang merasa aneh dengan sikap sahabatnya.

Matanya yang terasa panas dan pedih, akhirnya membuat gumpalan cairan bening mengalir dengan pongahnya melewati kelopak mata, dan berakhir dipipi tembemnya. Dia ingat tatapan Rey, tajam, seperti itulah statusnya. Jika dia mengakui perasaannya, maka dipastikan sikap Rey akan berubah padanya, kecanggungan akan ada diantara mereka, maka Key memilih mencintai laki-laki itu dalam diam, menyebut namanya dalam doa, dan mengukir namanya dalam bait sunyi. Meski sulit, itu akan terasa mudah jika Key tetap bisa melihat senyum laki-laki itu.

-END-

Regards
Umiimasrifah

Mimpi Diujung Senja (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang