Dipersimpangan yang sama

596 34 0
                                    

Wajah yang selalu menyiratkan ketenangan dengan keteduhannya, membuat siapapun yang berada disampingnya memilih untuk tidak beranjak dan ingin selalu menetap. Seperti yang kulakukan sekarang.

"Qil,"
Aku dan dia, sama-sama menoleh kearah sumber suara. Bukan karena aku dengannya kompak, tapi karena alasan lain.

Berawal dari acara kelulusan. Pada saat itu dia salah satu tamu undangan yang menghadiri acara khusus dibuat untuk perpisahan angkatan ku, dia salah satu alumni juga di sekolahan dan mendapat sambutan istimewa, entah kenapa dia menjadi sorotan selama disana, banyak yang sudah akrab dengannya, bahkan beberapa guru pun ikut menyambutnya dengan gembira. Jadi, apa hanya aku orang yang tak tahu-menahu tentangnya?
Tapi tidak lagi, insiden yang cukup memalukan bagiku, malah membuatku mengenalnya, bahkan menjadi temannya hingga sekarang. Terdengar begitu instan, tapi pertemanan itu tak berjalan semulus yang dipikirkan, apalagi dipertengahan dua tahun kita menjadi teman, perasaanku menjadi tak terkendali, bersamanya seperti energi untukku menjalani hari-hari melelahkan, senyumnya membuat semangatku tak pernah habis, dan wajah meneduhkannya lah yang selalu menjadi warna tersendiri disetiap waktu.

"Raqil maksud gue,"
Ucap Tara, sahabatnya. Karena mengenalnya, aku jadi mengenal para sahabatnya, yang ternyata juga sama dengannya, memiliki peran penting sewaktu disekolah dulu.
"Dicari Shila."
Tambahnya sembari menunjuk seorang gadis berdiri diambang pintu cafe. Untuk apa? Kenapa tidak masuk juga dan bergabung dengan kita?

"Kenapa nggak masuk aja?"
Tanya Raqil, dia heran apalagi aku.

"Tau, dia nggak mau kesini. Samperin sana gih, biar gue temenin Aqila."
Ucap Tara sembari mengendikkan alisnya kearahku, yang malah kubalas cebikkan. Tidak heran, Tara memiliki wajah yang lebih tampan dari Raqil, banyak gadis yang mengejar-ngejarnya, tidak bisa dipungkiri gaya cool dan sok jaimnya sering kali diperlihatkan, apalagi denganku.

"Kak, lo tau kenapa dia nyari Kak Raqil?"
Tanyaku berbisik. Semoga ini tidak dianggap rasa cemburu. Jangan bilang aku seorang yang posesif atau apa dibandingkan status yang tidak jelas hingga kini. Tapi yang kutahu Shilla adalah teman seangkatan Raqil, dan Tara. Dan gadis itu pernah menjalin hubungan spesial dengan Raqil, baiklah sekarang aku terdengar seperti gadis yang cemburu dengan mantan dari pacarnya.

Tara hanya mengendikkan bahunya.
"Mungkin ngajak balikan."
Jawabnya yang membuatku tersedak dan langsung membelalak kearahnya. Mulutnya itu seperti coklat tapi rasa cabe. Kelihatannya manis, tapi pedasnya minta ampun.

"Yang bener?"
Tanyaku memastikan. Meski sebenarnya aku tau Tara hanya membual, tapi siapa tau itu benar terjadi.

"Sejak kapan lo percaya gue?"
Balasnya.

"Ahelah!"

"Lo cemburu ya?"

"What?"

Kini Tara berlagak seperti detektif yang mencium bau tidak keberesan dariku. Sekarang, aku harus berhati-hati.

"Ngaku lo."

"Lo kok maksa gue sih? Sapa lo? Kita nggak ada hubungan apa-apa ya, jadi jangan kekang gue."
Ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan meski keabsurdanku harus muncul.

Dan kulihat Tara bergidik ngeri seiring tubuhnya yang mundur,
"Najis."

"Tuh gebetan lo udah dateng."
Ucap Tara sembari menunjuk Raqil dengan dagunya.

"Hei."
Wajah yang tadi kulihat begitu meneduhkan, kini berubah menegang. Bahkan urat senyumnya pun enggan tertarik.

"Yaudah, gue balik ke meja sana lagi."
Pamit Tara sembari menunjuk sekumpulan laki-laki yang ada dimeja tak jauh dari meja kita.

"Hm."
Balas Raqil singkat. Aku semakin curiga bahwa terjadi sesuatu dengan laki-laki itu.

Aku hanya diam. Menunggu nya berbicara setelah mengambil posisi duduk didepanku.

"Kak, ada apa? Apa yang terjadi tadi?"
Tanyaku, yang sekarang kupikir terlalu lancang untuk ingin mengetahui yang telah terjadi dengan laki-laki itu.

"Nggak ada."
Jawabnya.

"Apa, dia ngajak kamu balikan?"
tanyaku yang semakin tidak tau diri.

Dia menatapku, sebuah kedutan muncul dibibirnya.

"Pasti Tara yang bilang?"
Tebaknya.
"Sejak kapan kamu percaya dengannya?"

"Kan terkadang seseorang akan bilang jujur diantara kebohongannya."

"Dan aku pastikan, ini bukan kejujurannya."
Jawabnya. Aku sedikit lega. Dia memastikan bahwa ini bukan kejujuran, itu artinya mereka tidak akan balikan.

"Lalu? Apa yang kalian bicarakan?"

Aku menunggu jawabannya, tapi Raqil tidak kunjung menjawab, dia hanya menatapku dengan lekat. Terasa bahwa ada luka didalam matanya, dan tiba-tiba aku ikut merasakannya.

"Aqila, apa selama ini aku pernah minta sesuatu ke kamu? Sesuatu yang begitu penting."
Tanyanya, yang membuatku bingung.

"Aku pikir nggak ada, selama ini kamu cuman minta kita ketemu, makan bareng, jalan bareng, nganterin kamu beli baju, beli ice cream,"

"Sekarang boleh aku meminta sesuatu hal penting?"
Ucapnya yang memotong pembicaraanku.

"Jika hal penting yang kamu minta itu bisa aku berikan, aku akan memberikannya, Kak."
Jawabku.

"Pergilah dariku, dan jangan coba mencariku."
Ucapnya, membuat tubuhku tiba-tiba menggigil, menyulap semua sendiku menjadi kaku.

"Aku nggak ngerti dengan yang kamu omongin, Kak."
Aku tidak percaya ini. Sungguh.

"Pergilah dariku, menjauhlah sejauh-jauhnya, dan jangan pernah mencariku."
Ucapnya yang bisa ditangkap dengan jelas oleh telingaku. Apa yang harus kukatakan sekarang? Kenapa  bisa seperti ini?

"Tapi kenapa?"

Aku kira dengan menjadi teman, aku bisa selalu bersamamu, tapi kenapa sekarang kamu menyuruhku untuk pergi?
Aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku secara gamblang, tapi setidaknya dengan menjadi temanmu aku bisa menguarkan perasaanku secara bebas.
Tapi kenapa sekarang, kamu memilih untuk menyuruhku pergi?

TBC

Regards
Umi Masrifah

Mimpi Diujung Senja (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang