DLMG #8 : Meet again

1.2K 99 0
                                    

Aku mendengus kesal dan memuntahkan makanan yang dibuat oleh Diana, dia sama sekali tidak bisa dalam hal dibidang memasak, oh God! Siapa nanti yang betah menjadi suaminya? Kurasa tidak ada, jikapun ada mungkin itu hanya paksaan dari kedua orang tuanya. Jahat sekali aku.

“Lebih semangat lagi!” Ucapku dengan nada sangat tinggi, aku rasa agar dia bisa belajar dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, sedari tadi pasti ia akan bercanda saja. Benar kan akuo1

“Itu sausnya belakangan, kemudian sayurnya cuci terlebih dahulu. Dan oh ya, jangan lupa dagingnya dipotong.” Ucapku sambil tertawa kecil, Diana nampak kebingungan dan kewalahan melakukan suruhanku. Tapi bagaimanapun juga semua itu kulakukan demi kebaikannya. Aku kan sahabat yang baik.

Keringat mengucur deras dipelipisnya, “Oh Bastard, Zul. Aku pasrah aku tidak tau sama sekali lebih baik kita ke restoran saja ya?”

Aku menggeleng dan memukul pundaknnya, “Ah kau ini, sampai kapan mau mengandalkan restoran? Masak saja dulu, kalau memang masih belum enak, oke kita ke restoran.”

Bisa kulihat diwajah Diana tersimpul rasa kesal terhadapku, tapi aku tidak perduli. Hingga akhirnya, terdengar teriakan melengking dari arah belakang. Sontak aku berbalik dan ...

“Zulfah....! Dagingnya gosong...”

Apa lagi yang ia lakukan sampai-sampai dagingnya gosong? Dengan penasaran aku pun menghampirinya dan ya.. Mataku hampir terbelalak kala melihat daging yang terletak diwajan tersebut gosong segosong gosongnya, oh Tuhan.

“Kau ini, kenapa bisa?” Aku menggeleng-geleng.

“Aku tidak tahu!” Pekiknya, “Tadi aku tinggal sebentar, lalu pada saat aku kembali. Sudah gosong, hehe.” Ujarnya lalu terkekeh kecil.

Aku mendengus kesal, ceroboh.

“Ah sudah, lebih baik kita ke restoran saja. perutku sudah sangat lapar menunggu hasil masakanmu.”

“Tidak mau mencoba dulu?”

Hey, aku di suruh mencoba daging gosong? Di mana otak nya? Apa ikut terbawa diwajannya dan gosong? Oh Diana. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu kemana.

You must be joking with me, sudah ayo kita jalan.”

Dan dengan itu dia tersenyum kemenangan lalu berputar-putar ria layaknya anak kecil yang baru mendapatkan sekotak besar permen.

Ya, itulah Diana.

*

Diana POV

Aku dan Zul memutuskan untuk pergi menuju restoran yang kabarnya masakan di sana enak-enak. Terutama ayam, Nando's. Itulah nama restoran tersebut. Sesampainya, kami langsung mengambil tempat tepat di paling pojok, sedangkan Zulfah kusuruh memesan terlebih dahulu.

Sembari menunggu pesanan datang, kulihat pintu Nando's terbuka. Melangkahkan beberapa kaki masuk ke dalam Nando's, setelah ku perhatikan dengan seksama...

Sial!

Keriting ricuh itu lagi?

Salahkan takdirku untuk kali ini, haruskah aku bertemunya di tempat dan waktu tidak tepat seperti ini? Aku mohon semoga dia tidak merebut pesanan Zulfah. Jika itu terjadi, aku akan menarik rambut keritingnya. Pegang ucapanku.

The food is ready!” Ucap Zulfah sambil menaruh nampannya dimeja bundar tempat kami terduduk. Detik kemudian kami langsung melahap makanan tersebut. Sekali-kali ku lirik keriting ricuh itu, betapa terkejutnya aku mengetahui dia tidak ada. Hei, kemana dia?

Aku menoleh ke arah kananku dan sialnya dia sudah berada tepat di meja sampingku sambil memamerkan rambut keriting gagalnya itu. Dengan perasaan kesal aku menoleh ke arah Zulfah yang tengah sibuk memakan makanannya.

“Zul, aku rasa kita harus pergi sekarang.” Kataku pelan nyaris seperti bisikan.

“Kau? Kau tidak lihat aku masih makan?!” Dia menatapku sebentar lalu kembali melanjutkan aksi makannya. Aku mendengus lalu berusaha membujuknya agar pergi meninggalkan tempat ini.

“Ada sesu— ah ayo!” Dan dengan itu aku langsung menarik pergelangannya melangkah cepat menuju keluar Nando's.

“Kenapa, sih? Aku sedang makan.” Ketusnya.

“Ah, nanti aku ceritakan.”

Hampir kami ingin melangkah keluar bersamaan dengan itu seseorang berteriak membuatku menoleh ke arah sumber suara tersebut. “Hei, kau gadis kecut!”

Aku menoleh dan mendapati sikeriting ricuh itu menatapku, disusul oleh kedua temannya yang tertawa ke arahku. Pun aku mengacuhkannya, lantas melanjutkan langkahku.

“Hey, gadis kecut!”

Kali ini dengan kesabaran yang mulai menipis aku langsung berjalan cepat ke arahnya, membiarkan Zulfah berdiri di belakangku. Siapa yang tidak merasa kesal telah dipanggil dengan nama 'gadis kecut' di depan banyak orang?

Tanpa basa-basi aku menggebrak mejanya membuat beberapa pengunjung menatap kaget sekaligus sinis ke arahku.

“Hey, kau keriting ricuh sok tampan dan aslinya jelek. Kenapa kau memanggilku?Kau mau membuatku malu? Ada urusan? Oh, atau kau mau mengembalikan King Chocolate ku?” Ujarku disertai nada terdengar seperti mengejek.

“Haha..” Dia tertawa menampilkan deretan gigi —hei gigi kelinci. “Kau fikir kau cantik? Aku memanggilmu bukan bermaksud apa-apa ya seperti katamu tadi. Aku mau mempermalukanmu.”

Hatiku mencelos jatuh ke bawah, kenapa pria ini selalu membuatku kesal? Mengapa Tuhan memberi takdir mempertemukanku dengan dia, aku tidak pernah berbuat salah atau memang ada yang pernah kubuat sehingga sebagai balasannya aku dipertemukan dengan lelaki gila ini?

Shut up! Aku malas berdebat denganmu. Dan jangan pernah memanggilku lagi.” Ketusku lalu pergi meninggalkannya, kulihat Zulfah langsung memberi tatapan heran ke arahku bercampur kaget.

'Kau-mengenalnya?'

*

“Kau gila atau apa?” Zulfah memandangiku heran setelah keluar dari Nando's beberapa menit lalu. “Atau saraf otakmu ada yang putus?”

Aku menoleh cepat, “Maksudnya?”

“Tidak, hanya saja tadi kau membentak salah satu artis yang sedang naik daun bersama bandnya tahun ini sekaligus terpopuler. Bukankah itu gila?”

Aku melonjat kaget, keriting ricuh itu populer? Toh, jika dia populer aku tidak punya hak untuk membentaknya? Tidak ada yang mustahil untuk dilakukan, sekalipun membentak artis terpopuler seantero London.

“Jadi keriting ricuh itu populer? Ah tidak masalah, aku sangat kesal padanya. Jadi... Biarkan saja."

“Namanya Harry. Dia itu penyanyi terkenal. Lalu dia juga mempunyai boyband bernamakan One Direction. Dan aku heran, kenapa kau bisa mengenalnya?” Tanyanya.

Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskan dengan pelan, “Kemarin, sewaktu di supermarket aku mau membeli King Chocolate, tetapi ia merebutnya. Ah sudahlah, malas sekali membahas masalah ini.”

Zulfah tampak mengerti akan perasaanku lantas dia merangkulku, “Baiklah, banyak sekali orang-orang melihatmu tadi. Dari pada kau memikirkan masalah ini, mending kita ke sungai Thames?”

Aku menyunggingkan senyuman kecil ke arahnya lalu mengangguk senang.

Ya, aku menyukai Sungai Thames.

***

Tbc:)

Don't Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang