Four Words

42 1 0
                                    



"Aku hanya tau CINTA itu terdiri dari 5 huruf"

Banyak orang yang bilang bahwa essens terpenting dalam hidup adalah mencintai. Seperti Romeo yang mencintai Juliet, Karl Lagerfeld yang mencintai label Choco Chanel, David Beckam yang –mungkin- lebih mencintai sepakbola atau Hugh Hefner yang mencintai gadis-gadis kelinci nakalnya. Tapi aku? Apa yang harus aku cintai? Uang? Oh jelas! Dia cinta pertama dan terakhirku dan tidak perlu ada yang ragu akan besarnya cintaku pada Amex, Visa dan Master Card yang bisa di pastikan melebihi cintaku pada kedua orangtuaku yang sedari dulu terlalu sibuk dengan kegiatannya mencari uang untuk membayar tagihan kartu kreditku dan juga kegiatan mereka di atas ranjang dengan berbagai macam pasangannya.

Aku bukan terlahir dari keluarga ideal dengan ayah-ibu super perhatian yang akan selalu menyambutmu saat kau pulang sekolah atau akan menegurmu saat kau pulat terlambat. Yang di sebut orang tua di kepalaku adalah orang yang sudah melahirkanku dan membayar seluruh tagihan kartu kreditku. Titik. Dan jangan tanya seberapa tergantungnya aku pada mereka, karena aku hanya sangat tergantung dengan uang mereka.

Sampai suatu saat dia datang dan berbicara kalau tiba-tiba dia mencintaiku yang sukses membuatku mengernyit heran mendengar kata asing itu. Cinta? Sebesar apa dia mencintaiku? Pasti tidak akan lebih besar dengan cintaku pada seluruh kartu kredit yang siap ku gesek kapan saja. Dan juga jangan kalian bayangkan aku akan merasa senang atau gembira berlebihan karena satu-satunya hal yang membuatku senang adalah saat aku memeluk Daddy karena ia memutuskan untuk membuat salah satu kartu kreditku menjadi unlimited.

Mungkin kalian bosan, tapi benar hidupku hanya seputar uang dan uang. Tidak lebih.

Seperti teman-temanku yang hanya mau mendekatiku karena aku kaya. Lihat saja kalau tiba-tiba aku jatuh miskin dan tidak bisa membeli Marc Jacobs atau apa mereka masih mau berteman denganku kalau tiba-tiba aku mengganti Frederic Fekkai ku dengan Nyx? Hah! Ku jamin, mereka akan menjauhiku sedikit demi sedikit.

Tapi dia beda. Dia tetap ada disana sekalipun aku berkata kasar padanya atau aku yang mengusirnya perlahan. Dia tetap berada disana dengan senyumnya yang –baru kusadari- sangat menyenangkan. Paling tidak, aku baru pernah melihat senyum setulus itu di dua puluh tahun hidupku.

Dia bukan dari kalangan konglomerat sepertiku walau dia juga bukan orang miskin yang hanya bisa tidur di pinggir jalan. Dia tidak tampan, hanya menarik. Itu saja. Dia tidak sepertiku yang hanya perlu telepon pada salah satu sekretaris orangtuaku untuk membayarkan tagihan credit card-ku dan menggunakannya lagi sampai limit akhir. Dia perlu kerja keras untuk mendapatkan sedikit kelayakan hidupnya.

Tapi disanalah menariknya dia di mataku.

Dia bukan sesosok lelaki yang akan terus menerus mendekati perempuan yang mereka sukai. Dia beda! Dia hanya bilang kalau dia mencintaiku, tapi dia tidak pernah sekalipun mengajakku berkencan atau menghubungiku selayaknya orang yang sedang di mabuk cinta. Dia hanya diam dan tersenyum saat kami berpapasan. Itu saja. Dan itu sepuluh ribu kali membuatku frustasi.

Bukan, bukan karena aku suka padanya. Tapi karena senyumnya dia itu.... Aish! Aku benci saat dia tersenyum padaku dan aku hanya terpaku tidak tau harus berbuat apa.

"Sendirian?" tanyanya sembari menaruh secangkir latte di hadapanku.

"Apa kau kira selama ini aku selalu datang membawa seorang teman?" tanyaku sarkastis. Tapi lagi-lagi dia hanya tersenyum.

"Silahkan di nikmati." Dia undur diri dari hadapanku, tapi dengan cepat aku langsung menggapai tangannya.

"Bisa menemaniku sebentar?" pintaku sedikit memohon. Dan itu bukan gayaku sama sekali!

FanFictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang