"Mama!" Teriakan seorang gadis yang nampak sedang mencari sesuatu itu menggema di ruang tengah.
Seorang lelaki tegap berumur tiga puluh lima tahun berjalan melangkah ke arah suara teriakan tadi. "Apa sih, Azna. Kebiasaan banget!" Ucapnya memperingatkan.
Gadis bernama Azna itu menyeringai tanpa dosa membuat Arkan -papanya Azna- mendengus kesal dan bergerak ke sofa ruang tengah. "Mama, mana pah?" Tanya Azna sembari mengikuti langkah Arkan, dengan segera ia menghempaskan bokongnya duduk di dekat Arkan.
"Mama kan pergi ke supermarket." Sahut Arkan santai membuat Azna tersedak orange juice yang sedang ia minum. Sejenak kemudian Azna menoleh ke arah jarum jam dengan tatapan tak percaya.
"Papa, tahu?" tanya Azna dengan tatapan horor membuat Arkan sedikit meringis melihatnya. Arkan kemudian menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu, lebih tepatnya pura-pura tidak tahu.
"Mama itu udah pergi dari selepas sholat dzuhur, pah!" Ujar Azna. "Kebiasaan banget deh, mama pasti shopping lagi bareng tante Lea, padahal kan aku cuma minta mama beliin peralatan buat MOS nanti besok aja." Sambungnya dengan nada kesal.
Arkan terkekeh pelan melihat Azna yang sedang jengkel dengan mamanya saat ini. Arkan memang tidak suka dengan kebiasaan istrinya, namun apa boleh buat karena sekalipun ia melarang, istrinya tak akan menggubrisnya. Mungkin Arkan tipikal suami takut istri, entah karena istrinya yang terlalu galak atau ia yang tak mempunyai nyali besar menghadapi istrinya, sebenarnya sih sama aja.
Tidak bisa dipungkiri sikap Azna pun mencontoh mamanya, ia akan tampil lebih galak jika berhadapan dengan situasi yang tak ia sukai. Terlebih jika Azna sedang membenci sesuatu, ia pasti akan semakin garang. Namun Arkan masih bisa bersyukur karena ada satu sikap yang menurun pada anak tunggalnya, introvert. Ia akan cenderung diam jika ia berhadapan dengan sosok yang belum ia kenal. Meskipun pada akhirnya pasti akan menunjukkan sikap aslinya, ketika telah mengenal baik orang itu. Setidaknya sikap Azna tak terlalu membuat Arkan malu.
"Pa?" Azna mengibaskan tangannya di depan muka Arkan. Rupanya sejak tadi Azna sudah berhenti mengomel karena memperhatikan Arkan yang sedang asyik melamun seraya senyum sendiri bak orang gila. Sungguh terkutuk, jika Arkan mengetahui Azna menyamakan dirinya seperti orang gila.
"Alhamdulillah."
Azna semakin takut ketika mendengar jawaban Arkan. Dengan sangat tidak sopan, Azna malah menempelkan punggung tangannya di dahi Arkan kemudian menggelengkan kepalanya. Arkan yang melihat Azna bersikap seperti itu langsung menyentil dahi Azna cukup keras membuat Azna kesakitan.
"Kamu tuh ya! Kamu pikir papa gila?" tanya Arkan dengan tatapan tajam nan sinis membuat Azna menyeringai tanpa dosa, lagi. Azna kemudian menggelengkan kepalanya. "Enggak kok pa. Papa jangan marah ya, nanti makin jelek." Ucap Azna seraya mencium sekilas pipi Arkan kemudian lari meninggalkan Arkan sebelum amarah papanya benar-benar meledak.
"Azna sini kamu! jangan kabur!" Teriak Arkan sembari bangkit hendak menyusul Azna ke atas namun langkahnya terhenti dengan suara salam dan ketukan pintu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Arkan bergegas membukakan pintu, namun selepas ia mengetahui siapa yang datang langsung berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Orang yang mengetuk pintu tadi segera berlari kecil mensejajarkan langkahnya dengan Arkan, siapa lagi kalau bukan Naya - mamanya Azna-.
"Mas, kamu kenapa?" tanya Naya. "Eh bentar, ini ada martabak kesukaan mas, mau gak?" seraya mengeluarkan kotak berisi martabak coklat dengan taburan keju diatasnya. Mata Arkan seketika berbinar kemudian dengan segera ia mengambil kotak itu dan membawanya keatas meja makan. Ia segera melahap martabak itu tanpa memikirkan bahwa ia sedang marah saat ini.
Naya yang melihatnya langsung tersenyum lega, setidaknya ia terhindar dari amukan suaminya. "Mas kamu maafin aku kan?" tanyanya, dengan segera dibalas anggukan oleh Arkan. Naya pun segera berlari mencari anak semata wayangnya tak lain tak bukan, Azna. Sejak tadi ia yakin akan terhindar dari amukan Arkan tapi tidak dengan Azna. Azna bukanlah sosok yang mudah dirayu seperti Arkan, namun Azna memiliki sikap sepertinya, keras kepala dan sulit dirayu.
Dengan hati-hati Naya mengetuk pintu kamar Azna. "Azna!" panggil Naya.
"Buka aja ma! gak dikunci kok." Sahut Azna dari dalam. Naya pun segera membuka pintu, di dalam sana ternyata Azna sedang duduk di sofa kamar sembari melipat kedua tangannya di dada.
"Hebat ya mama, emang gak pegel tuh kaki!" Ucap Azna, ketus. "Kebiasaan buruk itu buang dong ma! Empat jam terbuang sia-sia hanya dengan mondar-mandir di mall ditambah lagi ngegosip sana-sini. Gak baik mah, nambah dosa tau!" Tutur Azna panjang lebar demi menasehati mamanya.
Naya yang mendengarnya merasa sangat terharu dengan penuturan Azna tadi. Ia tidak menyangka anak yang selama ini ia besarkan kini sudah menjadi gadis remaja baik dan selalu taat dalam agama. "Yaudah maafin mama ya, lain kali gak gini lagi deh." Bujuk Naya. "Nih barang pesanan kamu," Naya meletakkan semua peralatan MOS yang Azna pesan sebelum ia pergi tadi.
"Minta maaf sama Allah bukan sama aku!" Ucapan Azna mampu membuat Naya merasa amat bersalah. Karena jika tadi ia tak bertemu dengan sahabatnya -Lea- di supermarket, mungkin ia tak akan lupa waktu seperti tadi. Dalam hatinya ia berjanji tak akan mengulanginya, lagi.
"Iya Ustadzah kecil!" ucap Naya seraya mengacak rambut Azna yang baru disisir membuat Azna mengerucutkan bibirnya kesal. Naya terkekeh melihat ekspresi Azna kemudian keluar meninggalkan Azna sendiri di kamar.
Sepeninggal Naya, Azna diam-diam melayangkan senyuman bahagianya. Ia bangga memiliki orangtua seperti Naya dan Arkan karena mereka dapat menjadi orangtua sekaligus teman sehari harinya. Ia tak bisa membayangkan jika orangtuanya sibuk dengan pekerjaan, berhubung ia merupakan satu-satunya putri di keluarga ini.
¤¤¤
Author's notes :
Ini cerita baru aku, sebelumnya juga pernah publish cerita tapi aku hapus dengan alasan kurang srek #Iya emang labil banget:( Jadi aku kejar target bikin cerita lagi deh hehe semoga kali ini sungguh-sungguh bikin ceritanya.
Vote + coment jangan lupa ya ya ya;)
Salam manis dari sipitriri♥
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRED
Novela JuvenilJika mencintaimu adalah patah hatiku yang paling disengaja, lantas ajarkan aku cara membenci sampai aku lupa cara mencintaimu. -Razna Shabiya Dzahin Jika kamu tetap menjadi seseorang yang dulu, mungkin aku tetap menjadi pemilik ruang hatimu. -Adrian...