Mentari memancarkan sinarnya begitu cerah. Memberikan harapan indah bagi sebagian orang. Tetapi tidak bagi seorang perempuan yang sedang berdiri di bawah terik matahari. Membuat perempuan itu berdecak sebal.
Tidak ada yang lebih buruk selain dari upacara senin pagi disaat sang mentari bersinar terang. Bahkan waktu masih menunjukan pukul tujuh lebih lima belas menit. Sejak tadi, keringat sudah bercucuran dari pelipisnya. Sesekali ia menyeka kasar keringat tersebut sembari mengumpat kesal. Di dalam hati tentunya.
Bagaimana tidak kesal? Di depan sana berdiri seorang guru sejarah yang sedang memberikan amanatnya. Pak Lili Sudrajat, guru yang dikenal dengan kepandaian bicaranya. Terlebih di sebelah kanan, ia berdampingan dengan seorang lelaki yang dikenal dengan kejorokannya. Bimo Gandara. Sudah bajunya bau tidak kering ditambah dengan mulutnya yang dihiasi bau tidak sedap. Ia tahu karena sesekali cowok sialan itu mengajaknya berbicara.
Di belakang pula terdapat Gio yang senantiasa mengganggunya. Tak jarang rambut yang ia kucir di atas kembali terurai karena ulah cowok tersebut. "Lo bisa diem gak sih, Gi." Azna menoleh ke belakang menatap Gio yang sedang menunjukkan cengiran khasnya. Membuat Azna benar-benar ingin pingsan seketika saja di tempat.
Azna menoleh ketika mendengar suara cekikikan di sebelah kiri ia berdiri. Matanya menatap tajam seseorang yang kini sedang menertawakannya. "Diem lo cebol!"
Denisa semakin tertawa melihat ekspresi Azna saat ini. "Lo nikmatin aja, Az."
"Sialan lo."
Bimo menyentuh bahu Azna, tetapi Azna segera menepisnya. "Apaan sih Bim." Bimo dan Denisa hanya tertawa menanggapinya.
"Udah jangan marah terus, Az!" Suruh Denisa. "Mending liat pangeran lo tuh lagi nyanyi." Denisa tertawa melihat seseorang yang sedang berdiri dalam barisan paling depan di pasukan paduan suara. Azna melirik sejenak kemudian seketika bibirnya membentuk setengah busur panah.
Benar. Adrian Keynand Albar.
Lelaki yang sangat ia cintai dari dulu bahkan sampai detik ini. Lelaki yang selalu menjadi tujuan utamanya ia merindu. Lelaki yang beberapa hari ini juga sempat membuatnya gundah gulana. Karena tidak ada lagi pesan yang datang satupun dari lelaki itu.
Terakhir ia bertukar pesan adalah seminggu yang lalu tepat ketika Gio semakin gencar mengejarnya. Kala itu Gio mengaku-ngaku sebagai pacar Azna di depan Adrian. Dan semenjak itulah Adrian jarang muncul dihadapannya atau mengirim pesan apapun. Tak jarang juga Azna berpikir apa memang Adrian cemburu padanya. Atau mungkin Adrian tidak suka melihat kedekatan Gio dengan Azna. But she's know that is very impossible.
Ia segera menepis pikiran mustahil itu kemudian seketika senyumnya luntur. Bergantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Dilihatnya Adrian yang baru saja selesai menyanyikan sebuah lagu nasional. Sedikit melirik ke arah Azna. Entah perasaan Azna saja atau memang seperti itu kebenarannya. Hanya saja Azna tidak mau terbang lagi oleh harapan yang dibuat sendiri olehnya. Bukan karena Adrian.
Sejenak Azna mengucapkan sesuatu di dalam hatinya. Gue harus move on, bagaimana pun caranya.
***
"Gue lihat buku lo dong, Gi!"
"Tumben banget, Az. Biasa lo paling rajin deh."
Gio terheran melihat Azna yang sejak tadi menggosok matanya terus menerus, bahkan sesekali ia memijat pelipisnya pelan. Seperti sedang sakit tetapi Azna terlihat baik-baik saja, menurut Gio. Tetapi tak urung ia menyerahkan bukunya ke Azna. "Lo rabun jauh ya, Bi?"
Azna menoleh sembari menaikkan satu alisnya. "Nggak lah, Gi. Kenapa emang?"
Hari ini setelah istirahat tadi adalah pelajaran Matematika Peminatan. Tetapi kelas menjadi ramai seketika, ketika Bu Dina selaku guru piket memberitahu bahwa Bu Yuliana tidak masuk kelas. Tetapi sorak gembira dari kelas MIPA 3 ini tidak berlangsung lama karena ternyata Bu Iyul tetap memberikan tugas. Tidak begitu banyak, hanya menghabiskan tiga lembar buku saja. Belum lagi soal latihan yang mungkin akan menghabiskan dua lembar kertas, bila sudah diisi.
Tetapi yang sangat tersiksa dengan cobaan ini tentu Denisa orangnya, karena tugas Matematika harus ditulis di papan tulis. Sudah menjadi tugas sekertaris sebagai pengabdian terhadap kelasnya dengan melakukan tugasnya dengan baik dan benar.
"Kepala lo pening ya?" Gio justru melayangkan pertanyaan yang membuat Azna memutar bola matanya jengah.
"Kebiasaan banget sih, Gi!" rajuk Azna. "Kalau ditanya itu jawab bukannya malah balik nanya."
"Udah jawab aja sih, Bi! Lo ada pening di kepala?"
"Hmm."
"Mata lo gatal?"
"Hmm."
"Terus aja gitu sampe pantat ayam bau durian." Gio mencebikkan bibirnya kesal sembari merebut paksa bukumya dari Azna, membuat Azna terkekeh melihatnya. "Gue juga 'kan pengin perhatian sama pacar."
Azna mendengus kuat sembari menoyor kepala Gio. Ia juga menjulurkan lidahnya ketika berhasil merebut kembali buku milik Gio. Terlalu mudah bagi seorang Azna untuk sekedar mengalahkan Gio. Ia terkekeh pelan, "Pacar pala lo peyang."
Selama itu pula Azna menganggap bahwa semua yang Gio lakukan semata hanya sebuah lelucon. Ia tidak marah dan menjadikan sebuah hiburan saja. Daripada uring-uringan gak jelas memikirkan Adrian, padahal jelas ia tahu kalau Adrian tidak balik memikirkannya. Terlalu klise.Akhir-akhir ini hubungan Gio dengan Azna semakin membaik, meskipun Azna masih sering dibuat kesal oleh Gio. Setidaknya Azna tidak sekeras kepala seperti dulu dan hatinya sedikit melunak. Melunakkan hatinya bukan berarti suka, 'kan?
Seperti sekarang Gio merajuk kepada Azna, sehingga Azna harus membujuknya supaya tidak merajuk lagi. Tanpa mereka sadari, persahabatan yang terlihat begitu kekanakan diantara mereka membuat satu diantaranya merasa nyaman dan meyakinkan hatinya untuk berlabuh. Tetapi untuk seseorang yang masih dibayangi masa lalu, tidak mudah untuk melabuhkan kembali hati yang telah beku akan luka lalu.
***
(1.1.2018)
Happy new year
Semoga di tahun ini minat nulis aku nambah yaa, semoga di tahun ini cerita Tired akan selesai karena aku sudah nge-stuck banget huhu dan yang paling utama semoga doi cepet pekaaa. HAHA.
Jangan lupa voment♥
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRED
Fiksi RemajaJika mencintaimu adalah patah hatiku yang paling disengaja, lantas ajarkan aku cara membenci sampai aku lupa cara mencintaimu. -Razna Shabiya Dzahin Jika kamu tetap menjadi seseorang yang dulu, mungkin aku tetap menjadi pemilik ruang hatimu. -Adrian...