4.Benci

191 26 43
                                    

"Gue pokoknya benci sama si Gio, Del."

Azna baru saja berhenti mengomel kepada siapa lagi kalau bukan Adel. Karena bagaimanapun Azna tak bisa meluapkan semua amarahnya kepada Gio secara langsung. Azna selalu diam dihadapan orang yang belum ia kenal apalagi Gio yang baru bertemu satu hari tadi.

Azna sempat berpikir bahwa ia tak pernah melihat Gio sewaktu acara MOS kemarin berlangsung. Tapi Azna merasa Dejavu ketika bertemu dengan Gio di kelas. Entah ia pernah melihat Gio dimana, namun hatinya merasa sudah sangat akrab dengannya meskipun baru kali ini ia bertemu. Mata hitam pekat milik Gio. Selalu mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Tapi rasanya tidak mungkin kebenarannya seperti itu.

Adel terus mengaduk-aduk jus alpukat yang ia pesan tanpa menoleh kearah Azna. "Jangan benci banget lah Az, nanti ujungnya jadi cinta," ucapan Adel mampu membuat Azna terbatuk kaget saat ia sedang minum jus mangga. Azna seketika mencubit lengan Adel sedikit keras karena kesal dengan kata-kata yang baru saja dilontarkan Adel.

"Lo jangan seenak jidat gitu dong kalau ngomong," omel Azna sambil melotot ke arah Adel. Sedangkan Adel? Ia santai saja menatap lurus ke depan."Najong banget gue cinta sama dia,"

Adel terkekeh melihat omongan Azna. "Ya kali aja gitu, lo lagi ada niatan ngelupain gebetan lo itu," sindiran keras yang dilayangkan oleh Adel mampu menyumpal mulut rombeng Azna. Azna termenung memikirkan perkataan Adel. Memang benar sebenarnya ia harus bisa melupakan gebetannya itu. Tapi masalahnya, ia masih belum bisa membuka hatinya untuk siapapun, termasuk Gio.

Lah kok Gio sih?

"Alah gitu aja baper." Adel meninju pelan lengan Azna seraya tertawa kecil. Azna meringis kesakitan namun sedetik kemudian ikut tertawa bersama Adel.

¤¤¤

Keesokan harinya Azna tak mempunyai semangat pergi sekolah, ya ketahuilah semua ini karena Gio. Saat ini Azna tak berangkat bersama Adel dikarenakan papanya yang menawarkannya pergi bersama, lumayan ngirit ongkos, pikir Azna.

Azna berjalan tergesa-gesa melewati lapangan yang lumayan luas. Kali ini Azna masuk lewat gerbang depan sehingga ia harus berjalan cukup jauh sampai kelasnya yang paling ujung. Ia harus melewati lapangan, kantin, toilet siswa sampai gerbang belakang.

Di depan gerbang belakang belum ada petugas osis yang melakukan razia, karena masih awal sekolah, mungkin. Azna berjalan santai ketika melewati bangunan bertingkat dua yang ia ketahui sebagai kelas Adrian. Ketahuilah kelas Azna dan kelas Adrian sangat jauh, maklum dari ujung ke ujung. Itu artinya Azna dan Adrian berlawanan arah jika mereka juga masuk sekolah berbeda gerbang.

Tidak terpikir oleh Azna sebelumnya, ketika ia akan melewati gerbang belakang. Terlihat dari kejauhan tampilah sesosok pemuda tampan yang berjalan ke arahnya. Tidak asing baginya, karena dia adalah orang yang Azna cintai dan orang yang justru menghindar dari Azna.

Awkward moment bagi Azna namun entah untuk Adrian. Azna merasa gugup, ritme suara jantungnya berdetak melebihi biasanya. Azna sebisa mungkin menghilangkan kegugupannya, namun sangatlah sulit.

Ternyata menghilangkan rasa itu sangat sulit dan melupakan adalah hal yang relatif. Ketika di rumah, Azna selalu tersadar jika ia dikuasai dengan kebodohan karena terus mencintai seseorang yang justru secara tidak langsung bahwa dia terang-terangan merasa risih dengan keberadaannya. Namun Azna juga tak bisa membohongi dirinya sendiri, ketika niat Azna move on masih belum sepenuhnya.

Azna terus menundukkan kepalanya dan terus berjalan cepat. Miris. Ketika Azna tak sengaja melirik Adrian yang sedang berjalan santai tanpa kegugupan. Azna tak menyapa bahkan tersenyum, apalagi sebaliknya. Dimanapun dan kapanpun, Adrian tak pernah menyapa Azna, lagi. Dulu sebelum Adrian tahu bahwa perasaan Azna terhadapnya, mereka berteman akrab. Tapi mungkin karena terjebak friendzone atau apalah, sehingga Azna terjebak dalam pesona Adrian. Hal itulah yang mengubah sikap Adrian menjadi cuek bebek seperti sekarang.

"Woy si Adrian tuh,"

Suara dan tepukan di bahu membuat Azna terlonjak kaget. Azna kemufian menoleh ke samping sembari memelototkan matanya. Suara cempreng Adel mengalahkan bel sekolah itu membuat orang-orang di sekitar meliriknya sekilas. Meskipun Adrian sudah berlalu sejak tadi jadi tidak mungkin mendengarnya. Namun tetap saja Azna malu dengan teman satu SMP yang berdatangan saat itu.

Azna tidak menginginkan kejadian masa SD dan SMP nya terulang kembali. Berita tentang perasaan Azna yang tak terbalaskan kepada Adrian tersebar luas bak gosip selebriti. Memang tidak semuanya, tapi tetap saja sebagian banyak siswa mengetahuinya. Aneh memang. Padahal Azna maupun Adrian bukanlah most wanted atau apapun. Tapi tetap saja berita tidak penting itu tersebar berserakan di kalangan siswa.

"Adel dodol yang bibirnya dol, lo bisa diem gak,"

"Maaf Az, gue tadi khilaf,"

"Tai lo,"

Atmosfir disana sebentar lagi akan meledak. Maka dari itu, Adel sudah bersiap untuk lari sekencang mungkin. Dan satu.. dua.. tiga.. lari.

"ARDELIA," teriak Azna yang sudah emosi bahkan melupakan bahwa ia masih berada di luar. Karena biasanya Azna hanya akan berani berteriak di kelas saja. Itupun jika situasi nya sudah sangat menjengkelkan.

¤¤¤

Suara bel pulang terdengar begitu nyaring membuat ekspresi para siswa menjadi riang gembira. Menghabiskan tiga jam bergelut dengan pelajaran Fisika yang sangat membuat otak pusing tujuh keliling merupakan hal yang paling dibenci oleh para siswa, terutama Azna.

Azna terbilang pandai dalam segala hal, namun pengecualian untuk Fisika. Jika sedang ulangan, Azna jarang belajar namun ia selalu dapat nilai tinggi. Itu semua karena Azna selalu memperhatikan guru ketika sedang menjelaskan. Berhubung guru Fisika killer, jadi hal itulah yang menghambat nilai Fisika Azna.

Setelah selesai membaca doa, satu persatu siswa mulai berlarian keluar. Begitupun dengan Azna, ia sedang membereskan buku-buku dan alat tulis.

"Biya, pulang bareng gue ya?"

"Gak,"

"Kali ini aja, Bi, gue mohon,"

Sejak tadi, Gio terus memaksa Azna untuk ikut pulang bersamanya. Azna juga bersikeras tidak ikut karena takut. Bukan apa-apa, Azna mengenal Gio baru dua hari kebelakang. Hal itulah yang membuat Azna menolak ketika diajak pulang bersama. Namun kali ini Gio terus memaksanya. "Nanti gue teraktir deh,"

"Sepuasnya?" tanya Azna yang mulai tertarik dengan tawaran Gio. Lumayan lah ngirit ongkos dan siapa juga yang bakal nolak makan gratis. Sepertinya sifat somplak Azna mulai muncul di depan Gio.

"Iya deh demi tuan putri,"

Azna mendengus kesal mendengar ucapan yang dilontarkan Gio. Tapi tak apalah yang penting hari ini ia akan menghemat ongkos dan perutnya akan kenyang dengan makanan enak pastinya.

¤¤¤

Holla kawan, thanks udah baca cerita abal ini ya. Oh iya untuk part ini, mohon ambil yang baiknya ya. Maksud aku bukan ngajarin kalian buat jarang belajar atau apa ketika ulangan, tapi aku pengen kalian selalu memperhatikan guru ketika menjelaskan materi. Lebih bagusnya merhatiin sekaligus belajar ketika ulangan, nah itu baru bagus. Bukannya malah gangguin orang kayak Gio*ditabok Gio. Be smart a readers. Oke? Oke dong hehe.

Vote vote coment coment yuhuuuu:*

TIREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang