Bukankah harapan sekecil apapun tetap saja disertai dengan badai yang harus dilewati pemiliknya jika memang ia menginginkan harapan tersebut dapat terwujud. Bahkan ia harus rela menahan sakit demi mempertahankan suatu harapan ketika lelah menghampirinya.
Bukankah dari sekian banyak pengharapan setidaknya akan ada satu yang terpenuhi?
Begitu pula harapan Razna yang menginginkan cintanya terwujud. Apakah ini sebuah awal cerita yang sekian lama Razna inginkan. Apa terlalu berlebihan apabila jantungnya berdetak kencang ketika orang yang ia cintai mengirimkan sebuah pesan singkat? Bolehkah ia merasa bahagia meskipun ia tak tahu apa arti dibalik sebuah pesan tersebut?
Beribu pertanyaan hinggap dalam hati Razna. Razna tak ingin terlalu terbang ketika Adrian mengirimkan sebuah pesan kepadanya. Tapi satu hal yang harus diketahui bahwa merupakan sifat manusiawi ketika seseorang merasa bahagia hanya dengan sapaan kecil dalam sebuah pesan singkat.
Satu bulan sudah Razna selalu berkomunikasi dengan Adrian. Hingga kini hari berganti hari, Razna masih mempertahankan obrolan chat tersebut. Meskipun terkesan Razna yang banyak mencari topik obrolan. Razna rela.
Razna Dzahin : gue boleh nanya gak?
Razna menggigit pelan bibir bawahnya. Gugup. Sebenarnya sejak tadi ia ingin menanyakan sesuatu yang selalu mengganjal di hatinya. Namun jika ia bertanya sekarang, apa tidak terlalu cepat?
Adri Albar : apaan?
Razna semakin takut. Ia akhirnya mengurungkan niatnya. Tetapi bukankah jika ia menggantung pertanyaan, Adrian akan ilfeel padanya dan akhirnya Adrian tak lagi membalas chat darinya. Tidak tidak!
Sebenarnya ia ingin sekali tahu semua alasan dari sikap Adrian selama ini. Dimulai dari apa hubungan Adrian dengan Kinta. Mengapa Adrian harus berbohong di hadapan Gio. Mengapa Adrian berpura-pura tak mengenalnya padahal mereka sangat mengenal satu sama lain. Bukankah itu sungguh menyakitkan?
Tapi di balik itu semua, Razna sadar siapa dia. Mungkin ia hanya orang asing yang baru muncul dalam kehidupan Adrian. Meskipun dulu mereka pernah dekat. Tapi itu dulu bukan sekarang.
Razna Dzahin : kenapa lo jauhin gue selama ini Di?
Razna Dzahin : btw gue masih boleh panggil lo sebutan dulu 'kan?
Diyan. Begitulah dulu Razna memanggil Adrian. Ya dulu sewaktu mereka masih duduk di bangku SD. Sewaktu mereka masih dekat, tak berniat saling menjauhi apalagi saling melupakan. Razna masih mengingat dengan jelas kenangan indah di masa sulam.
"Azna.. Azna!" Panggil seorang anak laki-laki.
Seorang gadis yang sedang asik mengayun-ayunkan kakinya. Kemudian ia menoleh ke arah anak laki-laki tadi yang kini tengah memandangnya. "Apa?"
Adrian terkekeh pelan melihat rambut berponi gadis di depannya. "Kamu lucu banget deh," ucapnya sembari mengacak poni tersebut membuat si empunya mengerucutkan bibirnya sebal.
"Adri kebiasaan deh, poni Azna jadi berantakan 'kan." Azna membenarkan tatanan poninya kemudian berbalik membelakangi Adrian.
"Jangan marah dong!" Ucap Adrian seraya terkekeh pelan. Sedangkan Azna masih tetap tak mau berbalik untuk sekedar menatapnya."Azna aku punya panggilan baru nih buat kamu,"ujarnya.
Azna masih terdiam.
Adrian menatapnya geli kemudian dengam cepat Ia menggelitiki Azna. "Adri geli ih, udah Adri udah!" pinta Azna seraya meronta-ronta kegelian.
"Tapi jangan ngambek lagi ya!" Azna pun segera menganggukan kepalanya.
"Razna Shabiya Dzahin." Adrian kemudian tersenyum."mulai sekarang aku akan manggil kamu Biya, boleh 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRED
Teen FictionJika mencintaimu adalah patah hatiku yang paling disengaja, lantas ajarkan aku cara membenci sampai aku lupa cara mencintaimu. -Razna Shabiya Dzahin Jika kamu tetap menjadi seseorang yang dulu, mungkin aku tetap menjadi pemilik ruang hatimu. -Adrian...