"Bagaimana kau menemukanku?" tanya Louise Silverthorne sembari menekuni kembali kulit yang sempat dia tinggalkan. Jujur, dia memang sudah lelah, tapi seorang pemesan menginginkan sepatunya selesai sebelum lusa. Padahal, dia baru memesannya kemarin. Karena Louise butuh uang, jadi dia pun menyanggupinya meski itu artinya dia harus bekerja lembur tanpa istirahat.
Alfred Vernon hanya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan mengangguk-angguk.
Pemuda berambut sekelam malam itu menatap lekat teman lamanya sebelum berujar, "Hei, bagi anggota guild sepertiku, mencari keberadaan seseorang itu tidak terlalu sulit, kan? Cukup mudah dilakukan, terutama jika kau sudah tahu banyak informasi tentangnya. Bukankah kau juga tahu itu? Kau juga sama sepertiku, kan, Lou?" Alfred berhenti sejenak lalu meralat ucapannya begitu melihat perubahan ekspresi di wajah Louise. "Ah, dulu maksudku."
"Oh, jadi bagi seorang Alfred Vernon, mencari keberadaanku itu mudah, sampai butuh waktu berbulan-bulan?" cibir Louise menggoda sahabatnya.
Sembari terkekeh, tangannya masih sibuk membentuk sepatu pesanan. Sudah nyaris jadi sebelah. Tinggal disempurnakan saja nanti.
Mata Alfred melebar dan dia hanya mendecih pelan. Dia sudah tahu pemuda berambut cokelat gelap yang tengah sibuk dengan sepatunya itu cukup sarkastik sejak dulu, tapi haruskah dia melakukannya di saat mereka telah berpisah lama?
"Hei, aku sibuk menjalankan misi! Aku bahkan sampai tak punya waktu untuk istirahat!" Alfred berusaha membela diri.
Ia tahu seharusnya tak perlu sampai seperti itu. Toh, Louise pasti sudah tahu apa yang terjadi. Lagi pula, Alfred tak mungkin mengabaikan temannya sebegitu lama, kecuali dia punya alasan kuat untuk melakukannya.
Louise hanya mengangguk-angguk, tanpa repot-repot melihat ekspresi kesal di wajah Alfred. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana rupa sahabatnya itu setiap kali dia ganggu seperti ini.
Alfred menjatuhkan pantatnya ke sebuah kursi tua di dekat Louise dan melihat bagaimana lihainya pemuda itu membuat sepatu. Sungguh luar biasa, padahal dia baru berpisah dari Louise kurang lebih dari setahun. Bagaimana bisa keahliannya mumpuni seperti itu? Bukankah dia dulu bilang sama sekali tak mau membuat sepatu?
Ah, benar juga. Alfred jadi teringat tangan sahabatnya itu dulu lebih sering memegang senjata kala mereka bertualang bersama. Ironis sekali tangan hebat itu sekarang hanya membuat sepatu di desa kecil seperti ini.
"Hei, Lou-" Alfred terdiam, tak lagi meneruskan perkataannya. Matanya menatap kosong tangan Louise yang masih saja sibuk mengolah kulit.
Suara Alfred terdengar sedikit lirih, membuat suasana yang tadinya penuh canda berubah jadi sedikit serius. Menyadari perubahan suasana itu, Louise menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala. Ditatapnya sosok pemuda yang tak kalah jangkung darinya itu. Sosok kuat yang dulu sering melakukan petualangan bersamanya.
"Ada apa?" tanya Louise dengan nada biasa, mencoba tidak terlalu serius menanggapi Alfred dan membuat suasana semakin kikuk. Sepertinya, dia bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini. Meski begitu, Louise ingin menanggapinya seperti hal itu tak mengganggunya.
"Apa kau tidak merindukan kehidupan sebagai seorang petualang seperti dulu, Lou? Maksudku, menjalankan berbagai misi, mengalahkan berbagai monster dan orang jahat, melakukan hal-hal gila yang memacu adrenalin, pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kaukunjungi sebelumnya, mendapatkan banyak benda berharga dan uang--tidakkah kau ingin merasakannya lagi?"
Alfred membasahi bibirnya lalu memandang Louise lekat. "Apa kau bahagia dengan hidup seperti ini?" Kali ini, pemuda itu bertanya dengan sedikit ragu. Takut kalau pertanyaannya bakal menyinggung, meski ia tahu Louise bukanlah sosok yang mudah tersinggung hanya karena hal sepele seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...