"Terima kasih sudah menghadiri undanganku, Louise Silverthorne. Aku sungguh senang kau datang ke sini sehingga bisa melihatmu. Ah, benar, kan, namamu Louise Silverthorne? Atau mungkin aku salah orang?" Suara lembut Putri Anastasia menggema di seluruh ruangan. Mirip sekali dengan suara sang Raja, suara itu membuat orang nyaman mendengarnya.
Sapaan itu membuat Louise tersadar dari dunianya yang dipenuhi kecamuk dan beribu pertanyaan tanpa jawaban. Meski dia ingin sekali melihat sang Putri dan menanyakan mengapa sepatu merah itu ada di kakinya, Louise memilih terus menunduk—tak berani mengangkat kepala dan memandangi Putri Anastasia.
"Ya, Tuan Putri. Itulah saya," jawabnya sopan dengan suara yang begitu lirih.
"Aku benar-benar senang bisa bertemu langsung dengan sosok pembuat sepatu merah yang sangat cantik ini. Ayahanda tentu sudah tahu, kan, kalau sepatu ini buatan Louise Silverthorne?"
Raja Alexander berdeham kecil lalu mengiyakan. "Memang sangat cantik dan cocok di kakimu, Putriku."
Louise masih diam. Keheningan menggantung di udara. Bagi Louise, terasa sesak sekali udara di ruangan luas itu.
Melihat sikap diam Louise, Putri Anastasia kembali membuka mulutnya. "Ada apa, Louise Silverthorne? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apa menurutmu aku tak pantas memakai sepatu buatanmu?"
Lagi. Tak ada jawaban. Lidah Louise serasa kelu. Tak mampu berbicara. Pikirannya malah kini dipenuhi nasib Lucia. Bagaimana bisa sepatu yang Louise berikan pada Lucia bisa ada di kaki putri kerajaan Lefoin? Apa Lucia menjualnya? Atau, Putri Anastasia mengambilnya? Lalu, bagaimana nasib gadis malang itu sekarang?
"Louise Silverthorne—" Suara Putri Anastasia mengisi kekosongan. "Apa kau—"
Sang putri tak menyelesaikan ucapannya. Lousie menukas cepat, meski itu terkesan lancang. "Mohon ampun, Tuan Putri. Saya hanya sedikit bingung."
"Bingung? Mengapa kau bingung?"
Louise kembali membasahi bibirnya yang terasa semakin kering. Haruskah dia menanyakan hal-hal yang berkecamuk dan menyiksanya? Namun, bagaimana jika Putri Anastasia tersinggung? Bukankah tindakan semacam itu juga termasuk lancang, bahkan kurang ajar? Louise bisa-bisa langsung dihukum.
"Sebenarnya—" Louise berhenti sejenak, meyakinkan diri untuk mengetahui jawaban atas semua pertanyaan yang sedari tadi mengisi kepalanya. "Maaf, saya telah lancang. Boleh saya tahu dari mana Tuan Putri mendapatkan sepatu merah buatan saya?" Akhirnya, pemuda itu bertanya. Meski nyawanya kini di ujung tanduk, Louise harus tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dengan begitu, dia mungkin bisa mati dengan tenang—tanpa rasa penasaran.
"Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa ada yang salah?" Sang Putri malah balas bertanya. Namun, dia kembali berujar, "Aku tak tahu alasanmu menanyakan itu, tapi akan kujawab pertanyaanmu. Mungkin dengan mengetahui jawabannya, kau akan menjelaskan apa yang terjadi. Mungkin kau juga akan merasa jauh lebih baik. Aku mendapatkan sepatu ini dari seorang teman."
"Seorang teman?" ulang Louise, masih tak berani menatap sang Putri.
Putri Anastasia menggangguk sebelum memandangi sepatunya. "Ya, Louise Silverthorne. Seorang teman memberikan sepatu ini secara cuma-cuma padaku. Katanya, aku pantas memakai sepatu ini. Karena sepatu ini sangat cantik, aku pun menerima dan memakainya. Apa ada yang salah? Apa kau keberatan jika aku yang memakai sepatu ini?"
Louise buru-buru menjelaskan, tak ingin sang Putri sampai tersinggung. "Tidak. Bukan. Tentu saja, tidak, Tuan Putri. Saya hanya sedang bingung saja. Maaf, jika boleh saya bertanya lagi, apa—apa Anda mendapatkan sepatu itu dari seorang gadis yang—er, maaf, bernasib malang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...