"Kau yakin akan pergi sekarang?" tanya Louise di ambang pintu rumah.
Matahari masih belum menampakkan sinar seutuhnya. Masih terlalu gelap dan dingin bagi orang-orang untuk memulai aktivitas. Terlebih karena badai semalam, orang masih ingin bergelung dengan selimut di rumah masing-masing. Namun, karena sudah reda dan Lucia sudah mendapatkan istirahat yang cukup, gadis itu pun memutuskan untuk pergi, sesuai janjinya.
Lucia mengangguk. "Ya, aku harus segera pergi, Louise. Mungkin terasa lancang karena aku malah pergi begitu saja setelah merepotkanmu. Namun, ada hal yang harus kulakukan di satu tempat hari ini juga. Jika tak ingin terlambat, aku harus berangkat pagi-pagi. Toh, badai juga sudah berhenti."
Gadis itu berhenti sejenak, menarik napas panjang lalu melanjutkan. "Terima kasih Louise, aku benar-benar sudah menyusahkanmu. Aku sungguh bersyukur kau mau menolongku. Kau benar-benar baik. Aku tak akan pernah melupakan bantuanmu, terutama sepatu ini. Suatu saat, aku benar-benar akan membalas semua kebaikanmu."
Lucia mengayunkan sepatu merah yang membalut kakinya sembari mengulas senyum lebar. Sepatu itu masih tampak sempurna dan cantik. Sebenarnya, sangat cocok untuk Lucia, seandainya pakaiannya-dan kondisi wajahnya-lebih baik. Dia mungkin akan kelihatan seperti layaknya putri bangsawan. Meski begitu, kekurangan gadis itu tetap tak bisa menutupi keindahan sepatu buatan Louise.
Pemuda berambut cokelat itu balas tersenyum sebelum berkata, "Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, Lucia. Kalau butuh sesuatu, kau bisa ke sini lagi. Mungkin saja aku bisa membantumu."
Tak ada lagi yang bersuara. Keheningan menyergap, membuat suasana menjadi canggung.
Lucia memandangi sepatu di kakinya dan terbelalak, begitu menyadari sesuatu. Dia buru-buru menggulung lengan bajunya yang sudah kembali berjumbai-jumbai, membuat tubuh kecilnya tertutup lapisan baju tebal bertumpuk-tumpuk. Dilepaskannya sebuah gelang yang entah sejak kapan menghiasi pergelangan tangannya.
Gelang itu terbuat dari rantai serupa perak-entah asli atau tidak-membentuk sebuah sulur. Sebuah liontin berbentuk bunga cosmos tergantung di sana. Lucia langsung meraih tangan Louise sebelum meletakkan gelangnya di telapak pemuda itu.
"Untukmu, Louise. Anggaplah sebagai balas jasa. Mungkin ini tidak apa-apanya dibanding dengan semua kebaikanmu, Louise. Namun, benda ini penting untukku. Kau telah memberikan sepatu cantik ini-sepatu yang akan membawaku mendapatkan kebahagiaan dalam hidup dan cinta. Maka, sebagai gantinya, izinkanlah aku memberikan ini padamu. Kau juga berhak mendapatkan hal yang sama."
"Lucia, aku tidak bisa menerimanya. Lagi pula, aku tidak mengharapkan imbalan apa pun," tolak Louise.
Pemuda itu merasa tak berhak mendapatkan benda berharga milik Lucia yang mengaku sebagai pengemis itu. Dia sama sekali tak mempermasalahkan sepatu merah yang dia berikan cuma-cuma pada Lucia. Meski kalau dipikir-pikir, kerugian yang diderita Louise bisa terbilang besar.
Tidak. Louise tidak masalah dengan itu. Dia tulus membantu Lucia, termasuk memberikan sepatu yang ternyata pas di kakinya. Toh, Lucia lebih membutuhkannya. Sepatu itu pun telah menemukan pemiliknya.
Keras kepala seperti Louise sebelumnya, Lucia pun memaksa pemuda itu menerimanya.
Begitulah, Louise akhirnya menyerah. Digenggamnya gelang berliontin bunga cosmos itu sebelum berkata, "Terima kasih, Lucia. Aku akan menjaganya baik-baik."
Lucia tersenyum kembali lalu membungkukkan tubuhnya. "Kalau begitu, aku pamit. Sampai jumpa, Louise. Kuharap kita bisa bertemu lagi." Dia diam sejenak. "Ah, kupastikan kita bertemu lagi."
Gadis itu pun berbalik dan mulai berjalan menyusuri jalan setapak Diorando, sebelum menghilang di balik rumah-rumah penduduk.
Louise memandangi punggung Lucia sampai tak terlihat lagi. Entah mengapa, dia merasakan suatu kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Perasaan yang nyaris sama ketika Alfred ada di Diorando, menemaninya.
Ah, tidak. Bahkan, perasaan ini jauh lebih kuat. Louise benar-benar merasa bahagia.
Ya, sepatu merah itu berhasil menemukan pemiliknya, meski dia bukanlah gadis impian Louise.
Tidak apa-apa. Yang penting sepatu yang dia buat sepenuh hati bisa membuat seorang gadis bahagia. Itu sudah cukup. Ya, bagi Louise, itu sudah lebih dari cukup.
Pemuda itu mengulas senyum tipis dan berbalik masuk ke rumah. Mendadak saja, terpikirkan sebuah sketsa untuk kulit red dragon lizard yang sudah menunggu cukup lama untuk dikerjakan. Louise berharap hasil karyanya akan berhasil lagi dan terjual dengan harga sepantasnya. Entah mengapa, Louise merasa yakin itu akan terjadi kali ini.
つづく
Sesekali, penyakit TBC-nya ala Jepang. Lol.
Karena yang kemarin sudah panjang, biarkan yang chapter ini sedikit. Fufufu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...