Beberapa hari kemudian, setelah kepulangannya dari kota Tipza untuk memperoleh informasi, Alfred memutuskan untuk kembali ke Theoras. Dia menyadari kalau sudah meninggalkan istrinya cukup lama, meski Alfred tahu persis kalau Luna tidak akan protes karena dia akan pulang membawa kabar tentang Louise.
Sejak ditinggal pulang sahabatnya kembali ke kota asal, Louise merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan mengganjal yang sungguh tak menyenangkan. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Alfred: dia kesepian dan membutuhkan teman. Keberadaan Alfred beberapa waktu di Diorando membuatnya tersadar kalau Louise selama ini terlalu fokus dengan pekerjaannya, sampai-sampai lupa kalau dia selalu sendirian.
Kedatangan Alfred membuatnya nyaman. Hatinya yang kosong kembali terisi dengan kehangatan. Penuh canda dan tawa. Kebahagiaan. Belum lagi, berbincang dengan Alfred membangkitkan kerinduan Louise akan petualangan di luar sana. Dia merindukan saat-saat bisa bebas bersama petualang lain seperti dulu.
Namun, keputusannya untuk tetap tinggal di sini untuk meneruskan usaha sepatu ayahnya sudah harga mati. Louise tidak bisa bertualang seperti Alfred, termasuk menjalankan berbagai misi. Dia tak bisa lagi kembali. Tidak lagi. Diorando adalah satu-satunya tempat tinggal Louise sekarang dan akan selamanya begitu. Pemuda itu akan tetap tinggal di sini, sampai akhir hayatnya.
Tapi, petualangan di luar sana—
Louise mencoba mengusir jauh-jauh pikiran itu. Semenjak kedatangan Alfred, dia jadi memikirkan masa lalu yang tak ingin diingatnya lagi. Saat ini, Louise harus fokus dengan keputusan telah diambilnya. Meski kehidupannya sebagai pembuat sepatu tidaklah terlalu menghasilkan jika dibandingkan uang yang didapatkan saat menjadi petualang—ditambah karena toko sepatunya harus bersaing dengan toko pembuat sepatu besar lainnya—, Louise menikmatinya. Nyatanya, Louise masih bertahan setelah menekuni pekerjaan ini selama setahun lebih. Memang belum bisa membuatnya kaya, tapi pemuda itu jadi menyadari banyak hal. Membuat sepatu ternyata cukup menantang dan menyenangkan.
Ya, Louise hanya perlu menikmati sembari menunggu hasil kerja kerasnya kelihatan. Lagi pula, dia memiliki kulit red dragon lizard sekarang. Jika dia berhasil mengerjakan sepatu dengan kulit langka pemberian Alfred, maka Louise akan mendapatkan banyak uang untuk memperbaiki hidupnya. Dia mungkin bakal bisa memperbaiki bahkan memperbesar toko yang merangkap tempat kerja sekaligus tempat tinggalnya. Dengan begitu, kehidupannya akan membaik. Pun, jika takdir dan keberuntungan ada, mungkin pemuda itu akan menemukan teman hidupnya. Ya, itu yang diharapkan oleh Alfred dengan menyuruhnya membuat sepatu dari kulit merah manyala tadi.
Benar-benar ide yang luar biasa konyol.
Mengapa dia jadi ikut memikirkan kemungkinan yang sangat mustahil terjadi itu?
Ah, lebih baik dia fokus dengan kulit red dragon lizard saja daripada pikirannya melayang ke mana-mana.
Pemuda berambut panjang diikat dengan poni dijalin sedemikian rupa menutupi kening lebarnya itu bergegas mengambil kulit berharga dari tempat penyimpanan. Dilebarkannya selembar kulit merah manyala di atas meja kerja dan pemuda itu hanya menatapnya lekat. Sembari memainkan bibirnya, ia mengerutkan kening.
"Apa yang harus kubuat, ya?" gumam Louise pelan.
Sudah beberapa hari, kepalanya dihinggapi ide-ide sketsa sepatu yang mungkin dibuatnya dengan kulit pemberian Alfred. Namun, sampai detik ini, pemuda itu masih belum bisa menentukan sketsa mana yang akhirnya akan dia gunakan.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan mengerang.
Masih tak ada bayangan bagaimana dia harus memulainya.
Louise harus menentukan ingin membuat apa dulu. Mendadak, ucapan Alfred yang memintanya untuk membuat sepatu untuk gadis impiannya terlintas di benak Louise.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...