"Besok, aku harus ke kota Tipza untuk mencari informasi, Lou. Hanya misi tingkat E sih, tapi lumayanlah dibandingkan misi terakhir dari Theoras. Jadi, tak akan begitu memakan waktu," Alfred berkata sembari menata perbekalan makanan. "Kau tak apa-apa, kan, kutinggal sendiri? Aku akan kembali dalam dua hari. Aku janji," lanjut pemuda itu lagi, kali ini sembari memandang penuh arti sosok yang tengah sibuk mencermati sepatu di tangannya.
Mendengar itu, Louise mengangkat sebelah alis—heran benar dengan sikap Alfred yang sering kali aneh dan tak bisa dijelaskan. Sering tidak masuk di akal. Bahkan, Louise tak jarang menganggap sahabatnya itu memang sudah tak waras.
"Alfred Vernon, apa maksudmu bilang begitu? Kau sudah gila, ya?" Pemuda itu menggeleng, jari telunjuknya melakukan gerakan memutar di samping pelipis—gerakan yang biasa Louise lakukan saat Alfred dirasanya berbicara atau bertindak gila. "Kaupikir aku ini siapa? Aku tak tahu apa yang sedang kaupikirkan, Al. Tapi, lebih baik jangan kaulanjutkan. Aku ini sudah biasa hidup sendiri. Kalau kau mau pergi, ya sana pergi saja. Mengapa kau harus memberitahuku? Itu sama sekali tak ada hubungannya denganku," lanjutnya ketus. Mengapa sih Alfred selalu mengatakan hal-hal gila yang membuat keadaan kikuk?
Dengan sengaja, Alfred meninju-ninju lengan Louise yang tak terbalut pakaian—memperlihatkan otot-otot tak berlebih dibasahi keringat. "Ayolah, Lou. Kau sebenarnya senang dengan keberadaanku di sini, kan? Kau tak lagi kesepian dan sendirian. Kau jadi punya teman berbincang. Kalau aku pergi—"
Ucapan pemuda bertubuh kekar itu terhenti begitu saja, mengambang di udara.
"Alfred! Kau bosan hidup, ya?" sembur Louise kesal. Tangannya sudah mengangkat palu ke udara—siap memukul Alfred kalau masih ingin melanjutkan pembicaraan aneh itu.
Alfred menggerakkan tangan ke depan wajah, memperlihatkan gerakan menangkis. Dia tertawa keras melihat keberhasilannya membuat Louise kesal dan marah-marah. Itu salah satu hal yang dirindukannya dari sosok petualang berambut panjang dengan jalinan kepang pada poninya. Ah, ternyata Louise juga belum berubah. Dia selalu berhasil terpancing jika Alfred menggodanya seperti sekarang.
Begitu Louise meletakkan palu dan kembali sibuk melihat kembali apa ada kecacatan pada sepatu yang sebenarnya sudah jadi, Alfred meraih tas lalu langsung merogoh-rogoh isinya. Tas punggung kulit tua yang selalu menemani Alfred bertualang itu tampak begitu penuh, menggembung sebesar perut-perut buncit para bangsawan kaya di Theoras. Mantel, jubah, pisau, bekal makanan, dan berbagai benda yang didapatnya dari misi dan petualangan tersimpan di sana. Pemuda itu mengerang sambil terus mengobrak-abrik isi tas—tak kunjung menemukan benda yang dicarinya sejak tadi.
Tak menyadari kesibukan Alfred, Louise meletakkan hasil pekerjaannya yang sudah selesai di atas meja kerja. Ditepuk-tepuknya sepatu cokelat baru itu, merasa puas bisa memperbaiki—lebih tepatnya membuat kembali—sepatu sahabatnya, tanpa mengubah model asli buatan sang ayah. Louise bersyukur dia bisa membuatnya mirip—nyaris tak ada bedanya dengan yang dulu. Dia hanya menambahkan sedikit sentuhan pribadi sehingga sepatu itu bisa lebih lama bertahan untuk bertualang. Mm, bisa dibilang, ini juga merupakan hasil pekerjaan terbaik Louise dalam membuat sepatu.
"Nah, sudah selesai. Lihat, kan, Al? Sudah kubilang ini sama saja membuat sepatu baru. Sungguh merepotkan. Kau kan tinggal beli saja yang baru daripada menyuruh memperbaikinya. Lagi pula, apa bedanya? Mengapa sih kau keras kepala sekali?" protes Louise yang masih belum mengerti mengapa Alfred bersikeras memaksa dirinya untuk memperbaiki sepatu lama pemberiannya. Pemuda berambut panjang itu mengernyit, menyadari kalau Alfred sedang sibuk mencari sesuatu sambil sesekali menggumam tak jelas. "Hei! Kau ini sibuk mencari apa sebenarnya? Jangan membuat berantakan rumahku!"
"Sebentar, sebentar—" ucap Alfred, masih mengabaikan Louise. Tangannya masih tak berhenti merogoh-rogoh tas, mengeluarkan berbagai barang sehingga memenuhi lantai kayu rumah Louise. Namun, barang yang dicarinya sejak tadi masih saja belum ketemu. Setelah beberapa saat, barulah dia menghela napas lega. "Nah, ini dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...