Chapter 7

105 5 2
                                    

Begitu pintu berderit terbuka, tampaklah sesosok yang basah kuyup. Kain hitam menutup kepalanya. Rambut ikal kusut menyembul di antara kain itu--tampak berantakan dan basah karena air hujan. Baju berjumbai-jumbainya terlihat begitu berat, semua basah dan melekat jadi satu. Air terus menetes dari seluruh tubuhnya, ditambah lagi hujaman air dari langit yang tak kunjung reda memperburuk keadaan.

"Tuan, bolehkah saya masuk? Tolong." Suara itu bergetar, seiring dengan gemetar mulutnya berucap. Menggigil hebat, dia memeluk erat tubuhnya.

Mulut Louise terbuka, mata melebar melihat keberadaan sosok asing itu. Dia tercengang mendapati kondisi memprihatinkan sosok di depannya. Louise mungkin masih akan berdiri di depan pintu dan memandanginya, kalau saja netranya tak menangkap kesayuan di balik netra zamrud yang meredup itu.

Tersadar seolah ditampar karena sudah mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan, Louise pun buru-buru mengangguk, menggeser tubuh, dan membiarkan sosok itu--siapa pun dia--masuk.

Sosok bertudung hitam itu masuk, tapi berhenti tak jauh dari pintu. Dia tak lagi melangkah. Bergeming, seolah menunggu sesuatu.

Air dari pakaian dan tubuhnya yang basah menetes dan mulai membentuk genangan di antara kakinya. Dia terus berdiri di sana, semakin menggigil kedinginan. Mungkin dia tahu diri dengan tidak ingin membasahi rumah Louise lebih jauh lagi.

Louise menutup pintu lalu menguncinya. Begitu berbalik, keningnya mengerut mendapati sosok itu masih di sana. Tak kunjung melangkah ke arah perapian.

Apa yang dia pikirkan? Mengapa dia malah berdiri di sana? Louise membatin.

Sebuah pikiran melintas dan Louise rasanya mengerti alasan mengapa sosok tadi hanya bergeming.

Iba, pemuda itu langsung menggamit lengan terbalut pakaian basah dan menyeretnya mendekati perapian. Dia merasakan adanya penolakan, seolah sosok tadi memang tak ingin berpindah dari tempatnya. Namun, Louise bersikeras membawanya ke depan perapian. Api akan memberikan kehangatan dan mengeringkan tubuh sosok tadi.

"Tidak apa-apa. Ayo," bujuknya sambil tersenyum. Tangannya tak sekalipun melepaskan gamitannya. "Duduklah," kata Louise lagi begitu mereka sampai di depan perapian. Pemuda itu langsung duduk di sebuah kotak tua, melepaskan tangannya, lalu menepuk kotak di sampingnya.

Awalnya, sosok tadi ragu. Namun, melihat senyum terulas di bibir si pemilik rumah, dia mengangguk dan berkata lirih dengan bibir masih gemetar, "Terima kasih, Tuan." Dia pun segera melepas tudung yang menutupi kepalanya.

Dari jarak dekat dibantu cahaya perapian dan lampu minyak yang menerangi ruangan, Louise mendapati sosok gadis di balik jubah hitam tadi. Dia tak yakin berapa usianya, tapi Louise menduga dia tidak lebih tua dari dirinya.

Seperti tadi yang terlihat, rambut ikalnya begitu kusut dan berantakan, sepertinya tak pernah mengenal kata sisir. Wajahnya begitu pucat dengan bibir membiru. Tubuhnya masih menggigil hebat dan dia semakin mengeratkan pelukannya. Mm, sepertinya dia memang sudah terlalu lama berada di luar.

Namun, di balik kondisi memprihatinkan gadis itu, hal yang menyita perhatian Louise adalah area di sekitar mata kirinya. Ada bekas luka seperti cakaran yang membuat matanya hanya terbuka sebelah. Hanya sebelah kanan, sementara yang satu tertutup. Menurut Louise, kalau saja gadis itu merawat diri dan tak ada luka di sana, dia bisa bilang gadis itu cukup manis.

"Kau kedinginan?" Louise membuka pembicaraan. "Apa kau mau meminjam pakaianku? Kurasa kau bisa sakit kalau terus memakai bajumu sekarang. Setidaknya, kau bisa sekalian mengeringkan pakaianmu. Bagaimana?"

Dengan kikuk, gadis itu menoleh, memandangi Louise lekat--tak mengatakan apa pun. Dia tidak bisa langsung memberikan reaksi yang sesuai karena rasa dingin membuat otaknya serasa beku. Beberapa saat membiarkan pemuda di sampingnya menunggu tanggapannya, dia mengangguk. "Jika tidak merepotkan Anda--"

Red Shoes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang