Chapter 6

94 5 0
                                    

Sepatu merah itu masih ada di sana—terpajang di rak toko kecil Louise Silverthorne.

Duduk di atas kotak di dekat perapian, pemuda itu menatap lekat sepatu buatannya. Belum ada seorang pun yang membawanya pergi, meski banyak sekali orang tertarik dengan sepatu cantik itu. Semua orang mengurungkan niat untuk membeli begitu Louise menyebutkan harganya.

Terlalu mahal, keluh mereka.

Mereka meminta Louise untuk menurunkan harga, dengan begitu mereka akan sanggup membelinya. Namun, pemuda itu menolak. Louise bukannya tidak mau mengurangi harga jual sepatu merah itu; dia tidak bisa melakukannya, apa pun yang terjadi. Kerja keras dan perasaannya tertuang sepenuhnya dalam sepatu merah tadi. Setiap tetes keringat yang jatuh ketika menuangkan ide cemerlangnya—ah, tentu saja Louise tak akan melakukannya sekalipun orang-orang itu memintanya untuk berbaik hati.

Lagi pula, Louise membuatnya dari kulit asli red dragon lizard yang langka dan mahal. Penjualan satu lembar kulit itu saja bisa membuat Louise tak perlu bekerja selama tiga sampai empat bulan jika dibelikan kebutuhan sehari-hari. Itulah sebabnya pemuda itu tak bisa menjual sepatu buatannya dengan harga murah.

Toh, dia hanya mematok harga yang seharusnya. Louise bahkan tak mencoba untuk menaikkan harga—meski dia bisa saja melakukannya seperti yang dilakukan pembuat sepatu lain. Jika orang benar-benar menginginkan dan menghargai karyanya, maka tak seharusnya mereka mundur karena tahu harganya, kan?

Namun, nyatanya tak seorang pun yang sependapat dengan Louise. Mereka tetap saja menganggap pemuda itu berlebihan memasang harga. Terlalu mahal untuk sebuah sepatu.

Tak berhasil meminta Louise menurunkan harga, mereka malah mengata-ngatai pemuda itu terlalu serakah. Bahkan, beberapa orang menyebut dia pembohong; sepatu itu palsu, bukan dibuat dari kulit red dragon lizard yang sudah sangat langka. Louise disebut mengada-ada dan hanya ingin mencari untung. Nah, bagaimana Louise tidak semakin sakit hati? Bagaimana orang sampai berpikir seperti itu hanya karena tak mendapatkan apa yang mereka inginkan?

Selain harga, tak ada satu kaki pun yang pas dengan ukuran sepatunya. Meskipun ini sangat aneh, hal itu sebenarnya tidak jadi masalah. Toh, orang-orang mengatakan kalau mereka bisa menjadikan sepatu itu sebagai hiasan untuk dipajang. Masalah utama tetaplah pada harga yang dipatok oleh Louise.

15 hari.

Sudah 15 hari sepatu merah itu ada di rak tokonya.

Mengapa sulit sekali menjualnya? Apa benar dia terlalu serakah? Apa benar Louise terlalu tinggi memasang harga? Mengapa sulit sekali menemukan jodoh sepatu cantik itu?

Jika Louise memercayai saran Alfred, hal ini membuktikan sesuatu: gadis impiannya memang tidak ada. Mustahil ditemukan dengan cara segila ini.

Lagi pula, tak ada seorang pun akan membelinya. Itu juga berarti gadis yang dia impikan untuk memakai sepatu ini tak akan pernah muncul. Itu berarti Louise juga tidak bakal menemukan sosok untuk mengisi kekosongan hatinya.

Louise mendesah. Rasanya waktu setengah bulan ini berat sekali untuknya.

Ya, bagaimana tidak?

Entah ada hubungannya atau tidak, Louise mengalami berbagai kesialan sejak sepatu itu dipajang. Tak ada seorang pun membeli sepatunya. Padahal, di hari biasa, paling tidak satu orang akan membawa pulang sepatu buatannya.

Tetapi, apa yang terjadi lima belas hari ini?

Selain orang yang tertarik membeli sepatu merah itu, tak satu pun sepatu buatannya berpindah dari rak. Sama sekali tak ada yang terjual. Belum lagi, selembar kulit red dragon lizard pemberian Alfred dicuri orang. Si pencuri bahkan membuat tangan Louise terluka ketika dia berusaha mempertahankan kulit berharga itu. Akibatnya, Louise tak bisa mengerjakan sepatu satu pun—bahkan beraktivitas biasa pun dia kesulitan. Terakhir, otak Louise serasa kosong saja. Tak ada ide satu pun di benaknya untuk mengerjakan lembar kulit terakhir yang dia sembunyikan di bawah lantai kayu lapuk rumahnya—setelah insiden pencurian itu.

Red Shoes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang