Chapter 17: Kebenaran tentang Peri Maria

25 1 0
                                    

Desa Azna, dunia Peri: seminggu sebelum teror para demon.

Di desa inilah kami dibesarkan: Desa Azna. Sebuah desa yang kecil dan makmur, penuh dengan orang-orang yang ramah. Di desa ini, para peri menetap dan melakukan barter hasil dari pertanian mereka untuk mencukupi kebutuhan. Beberapa peri juga ada yang menjadi pengrajin perabotan rumahan, dan mereka menukarkan karyanya dengan bahan makanan untuk kebutuhan hidup mereka.

Aku, Pitcher. Aku adalah satu dari sekian peri laki-laki di desa Azna yang berusia empat belas tahun. Aku anak tunggal dari keluargaku. Keluargaku dan aku sangat akrab dengan tetanggaku. Mereka memiliki anak perempuan yang bernama Maria. Aku dan Maria selalu bermain bersama sejak kami masih kecil. Juga dengan beberapa peri lain yang sebaya dengan kami. Namun, Marialah yang paling dekat denganku dan kami berjanji untuk tetap menjadi sahabat sampai kapan pun.

Maria adalah peri yang polos. Saat itu, ia juga berusia empat belas tahun sama seperti aku. Ia bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakannya; Ia masih suka mengajakku memainkan permainan yang biasa kami mainkan sejak kecil, seperti ayunan atau bermain tali. Mengenang masa lalu, katanya. Penampilan Maria terlihat biasa namun tampak anggun: matanya yang ramah, rambutnya yang terjuntai hingga sepanjang punggung, sayapnya yang lebar dan berwarna biru kehijauan menambah kesan cantik dalam dirinya. Ia selalu berkata dalam tutur kata yang lembut dan tidak banyak bicara. Maria yang aku kenal, adalah gadis yang pemalu dan penakut sebenarnya ...

Ingga terkekeh, Ia kemudian menyeletuk. "Astaga, yang benar saja? Hahaha ... lalu kenapa dia sekarang malah jadi seperti ini?"

"Ceritanya belum selesai Ingga." Aku mencubitnya, ia kesakitan meski masih tertawa.

"Kita menggunakan kilas balik seminggu sebelum kejadian, karena di sini ada beberapa point yang perlu kita perhatikan." Jawab Pitcher. Ia lalu melanjutkan ceritanya.

"Pitcher, kepalaku sakit."

"Kau kenapa, Maria?" aku menatapnya bingung. "Sebaiknya kau beristirahat, aku akan mengantarmu pulang."

Siang itu―tepat seminggu sebelum kejadian teror para demon, Maria jatuh sakit hingga aku harus mengantarnya pulang. Aku pun meminta izin kepada guru peri untuk meninggalkan kelas. Aku mengantarnya hingga ke kamar dan menidurkannya. Tapi sesampainya dan ketika aku akan pulang, ia menahanku. Jadi aku pun menemaninya. Bahkan ketika tidur pun ia tidak melepaskan cengkraman tangannya dari lenganku. Aku pun pasrah dan duduk menemaninya di sana. Sesekali waktu ia terbangun―menceritakan apa yang ia lihat ketika ia tertidur.

"Aku mendengar suara minta tolong. Tapi aku tidak tahu dari mana itu berasal." Katanya. "Hanya itu yang aku ingat. Sisanya hanya warna putih, kosong, tidak ada apa-apa."

"Itu hanya mimpi, Maria." Jawabku. "Jangan terlalu dipikirkan, sekarang yang terpenting, kamu harus cepat sembuh."

Hari berikutnya, Maria sembuh dari sakitnya. Aku senang mendengar hal itu. Aku mendapati ia kembali tersenyum untukku saat aku menghampiri rumahnya.

"Kau mau mengajakku pergi?"

"Itu pun jika kau berkenan." Jawabku.

Aku menghabiskan waktuku sehari itu untuk bercanda dengan Maria. Kami pergi ke sekolah peri untuk belajar sihir, melakukan permainan ringan seperti bermain tali atau tebak-tebakan. Tapi ... kejadian itu tidak berlangsung lama.

Hari ketiga, Maria jatuh sakit lagi. Kali ini disertai demam yang tinggi. Aku kembali menemaninya dalam istirahatnya. Dan ia kembali bercerita kepadaku soal apa yang ia lihat ketika ia tertidur.

"Ada tiga orang ... tubuh mereka tinggi dan tidak memiliki sayap. Mereka mengulurkan tangannya kepadaku. Tapi aku bingung harus berbuat apa dan aku juga tidak mengenal mereka. Tanah di tempatku berpijak runtuh menjadi balok-balok kecil, hingga aku tidak punya pilihan selain menggandeng tangan mereka." Kata Maria.

Journey Into Paralel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang