"Kita harus segera menyembuhkan Kiki!" Seru Maria.
Setelah kami memasuki kereta Yggdrasil, Maria dan teman-teman segera berusaha untuk menyembuhkanku. Ingga meletakkanku dengan posisi duduk di lantai, sementara Maria; ia menyingsingkan lengan bajunya, meletakkan tongkatnya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya tepat di punggungku―yang sebelumnya telah disingkap.
"Kau bisa menyembuhkannya kan, Maria?" tanya Reni khawatir.
"Kau sepertinya sangat ketakutan Reni, ada apa?" Ingga merasa aneh dengan sikap Reni.
"Senjata demon wanita itu sangat beracun, racunnya ... adalah racun sihir. Dan dia bilang tidak ada peri maupun elf apalagi manusia yang dapat menyembuhkannya." Reni memucat, ia terlihat panik.
"Kalian jangan termakan ucapannya," sahut Maria. "Kiki pasti bisa aku sembuhkan dan akan aku keluarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya." Maria menoleh kepada Reni. "Jika racunnya adalah racun sihir, maka harus dilawan dengan sihir pula, bukankah begitu?"
"Maria, kau ini sebenarnya ..." Ingga diam sesaat, ia tampak mengurungkan niatnya untuk bertanya sesuatu. "Banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. Tapi sebaiknya kau fokus dulu untuk kesembuhan Kiki."
"Aku juga. Tapi ... aku lebih suka untuk tidak bertanya saat ini. Lanjutkan Maria! Katakan kepada kami apa yang kamu butuhkan, kami akan membantu."
"Baiklah Kiki. Bersikaplah tenang, okay?" ujar Maria. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Menit demi menit berlalu. Aku merasakan aliran energi Maria masuk ke dalam diriku; terasa hangat dan membuatku merasa nyaman. Namun di satu titik, aku merasakan rasa yang semakin sakit―semakin lama semakin sakit ... hingga membuatku ingin muntah. Dan pada titik saat aku tidak mampu menahannya, akhirnya aku memuntahkannya. Aku melihat darah yang pekat berwarnah merah kehitaman keluar dari dalam mulutku.
"Itulah racunnya," ujar Maria. "Dan beberapa sel-sel tubuhmu yang mati akibat racun tersebut. Sekarang aku akan memulihkan keadaan tubuhmu."
Aku masih belum bisa mengatakan apa-apa selama beberapa menit, sampai aku merasakan tubuhku benar-benar pulih. Reni menyodorkan sekotak tisu kepadaku untuk mengelap sisa darah yang ada di mulutku, Ingga juga menyodorkan sebotol air minum agar aku merasa lebih baik. Dan ketika aku bisa bernafas lega karena Maria sudah selesai dengan semua prosesnya untuk menyembuhkan tubuhku, aku akhirnya bisa mengangkat kepala dan berterima kasih kepada mereka―teman-teman seperjalananku.
"Jadi Maria ..." Reni mulai bertanya. "Bagaimana engkau bisa memiliki kemampuan sehebat itu? padahal aku tidak melihat kemampuan itu pada Pitcher maupun peri yang lain yang aku temui di dunia peri."
"Kau bilang itu hanya insting?" Ingga menyela sebelum Maria sempat menjawab pertanyaan Reni. "Aku rasa insting seharusnya tidak sehebat itu ... Maria."
Maria menghadapkan telapak tangannya ke depan. "Aku menyebut itu insting, karena aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku bisa menjadi seperti ini. Aku tahu kalian pasti merasa aneh atau bahkan curiga. Tapi sungguh aku tidak tahu apa-apa. Kurasa banyak yang hilang dari ingatanku. Lagipula kita kan sudah sepakat untuk menjalani ini semua bersama-sama, bukankah begitu?" Maria menghembuskan nafas, dan kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku mengerti perasaan kalian. seandainya aku berada di posisi kalian, sebagai makhluk berakal, sudah pasti aku juga akan dihantui rasa cemas atas ketidakjelasan yang terjadi, juga merasa berat untuk mengiyakan begitu saja dengan menjalani apa yang ada."
"Mungkin karena hal itu juga ... Dewi Floria menyuruhku untuk berhenti menanyakannya padamu." Ingga menunduk.
"Dan mungkin Dewi Floria benar soal kita yang dipilih oleh Yggdrasil," Maria melihat kedua telapak tangannya. "Mungkin itu juga alasan yang membuatku menjadi seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey Into Paralel World
FantasyKeadaan dunia tiba-tiba saja menjadi kacau. Bencana alam di mana-mana. Anomali cuaca terjadi dan tak dapat diprediksi. Bersamaan dengan itu, Ingga, Kiki, dan Reni; tiga orang remaja yang dipertemukan dengan seorang peri dari dunia lain, memutuskan u...