Mobil tiba-tiba berhenti berjalan. Pak Jono, supir keluargaku, langsung mempersilahkan aku dan Jillian untuk turun. Ia juga mengucapkan kata semangat untuk hari pertamaku sebelum mobilnya menghilang di tikungan.
Kami, aku dan Jillian, menyusuri jalan setempat. Aku menggerak-gerakan tongkatku guna meraba ketinggian dari aspal yang ku-injak kini. Omong-omong, tongkat ini terbilang canggih. Jillian membelikannya untukku tepat saat aku berulang tahun ke 15 tahun. Dimana kecelakaan itu terjadi satu minggu yang lalu. Kembali ke kata canggih, tongkat ini awalnya tidak berbentuk tongkat. Kamu tahu, yang panjang dan tipis. Justru, tongkat ini terlihat seperti pulpen biasa. Aku hanya perlu memencet tombol kedua untuk memanjangkan ujungnya. Jika aku menekan tombol pertama, hanya ujung pena biasalah yang keluar dari benda ini. Canggih, bukan?
Aku menghentikan langkahku saat Jilian menepuk pundakku pelan. "Sudah sampai, Ms. Abrams." katanya lalu menyuruhku untuk duduk.
Wewangian di ruangan ini begitu khas. Seperti wangi dari bunga cantik yang aku tak ketahui namanya. Yang pasti bunga itu cantik. Sangat cantik. Seseorang juga pernah memberikan bunga berbau seperti ini dulu. Tapi aku lupa siapa yang memberikannya dan apa nama bunganya.
Aku duduk, kurasa Jillian juga ikut duduk di kursi di sebelahku. Ia terdengar sedang berbicara dengan seorang wanita pula.
Lawan bicara Jillian beralih padaku saat ia sudah mencatat biodataku dari Jillian. Begitu yang aku dengar.
"Shabbrine Michellea Abrams. Benar itu namamu, gadis anggun?" tanya seorang wanita di depanku. Ia tampak tersenyum dan anggun juga di bayanganku. Jadi, aku ikut tersenyum.
Aku mengangguk sekilas. "Iya. Dan namamu? Rasanya tak sopan jika aku tengah berbicara dengan seseorang tapi aku tidak mengetahui namanya." Aku tersenyum lagi. Kini ia tertawa pelan. Mungkin karena aku yang secara tak sadar menggunakan bahasa inggris. Atau mungkin karena hal lain.
"Namaku Elena Roth. Panggil saja Mrs. Roth. Salam kenal, Nona," ia menjawabnya dengan bahasa inggris pula. Diselingi tawa kecil yang enak untuk didengar. Tak seperti tawaku yang akan membuat telinga orang pecah seketika.
"Jadi, kelasmu akan mulai 10 menit lagi. Tepat pukul 3 sore. Kelasnya ada di bagian kanan. Perlu kau ingat bahwa kelas khusus hari Sabtu termasuk kelas yang privat. Jadi hanya akan ada satu orang yang mengisi setiap kelasnya." jelas Mrs. Roth lalu tersenyum ramah. Entah, bayangan di otakku memang sering berjalan dengan sendirinya. Tapi aku enggan menanyakan kebenarannya bahkan dengan Jillian pun. Sebab semua orang tampak baik di pikiranku. Dan itu bagus menurutku.
Setelah Mrs. Roth mempersilahkan untuk segera masuk ke kelas, Jillian membantuku untuk berdiri. Ia juga menginformasikan bahwa terdapat meja di depanku. Di bagian kiriku juga terdapat kursi yang tadi ia duduki.
Memang. Memang selalu seperti itu keadaannya. Dan aku? Aku sama sekali tidak bisa apa-apa.
Jillian tetap menuntunku dengan menggenggam kedua pundak sebelum aku sampai di kelas. Sesaat, ia menyuruhku untuk berhenti dan berkata bahwa kami sedang ada di depan kelasku.
"Semoga beruntung Nona Abrams," ucapnya lalu berlalu. Aku tak tahu akan kemanakah ia pergi. Tapi ia sempat bilang bahwa hari ini ia akan menunggu sampai waktu kursusku selesai. Mungkin ia akan menunggu di ruang tunggu sambil memperhatikkanku yang tak tahu arah manapun di tempat ini.
Aku meraba lantai yang terdapat di pintu ruangan ini dengan tongkat. Saat aku mengetahui lantai ini datar saja, aku melangkahkan kaki pasti.
Kurasa sudah ada seseorang di ruangan ini. Jelas saja, aku mendengar omelan-omelan dari suara yang kutebak adalah suara guru, lalu kemudian suara piano terdengar.
Suara piano itu begitu mengalun, merdu, dan membuat siapa saja yang mendengarnya akan tenang. Menurutku, sih, begitu.
Aku kemudian berbalik badan. Sepertinya Jillian tidak tahu dimana letak kelasku. Ini jelas bukan kelasku karena menurut apa yang Mrs. Roth bilang, murid privat memiliki guru yang hanya fokus dengan satu murid.
Dan kelas ini sudah terisi dengan murid dan guru yang terdengar masih marah walaupun aku sudah berada di depan kelas yang berdampingan dengan kelas tadi.
Seperti tadi, aku melangkahkan kaki pasti. Tak perlu lama, kedatanganku sudah disambut dengan pertanyaan dari seseorang yang kutebak adalah guru.
"Shabbrine? Benar?" tanya suara berat itu. Aku hanya mengangguk sambil mencari-cari dimana letak kursi serta piano-nya dengan tongkat.
"Kau sudah terlambat 5 menit di hari pertamamu!" ucap guru ini sangar.
Oh, tidak. Jangan sekarang oke. Jang--
"Sekarang, mainkan sebuah lagu untukku dengan tempo, nada dan semua hal yang dulu kau pelajari disini dengan benar!" perintah si suara ini lagi.
Aku mendesah pelan. Kurasa, ini akan menjadi hari yang panjang. Aku 'kan sudah lupa dengan nada-nada di piano. Coba saja itu bisa dijadikan alasan.
Doakan saja, ya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"love would make us blind. so i don't need any love at all; i'm already blind." (Inspired by JIN's Gone music video.)