Aku terus berjalan tertatih-tatih. Sibuk menyamai langkah Mike yang bahkan aku tak tahu bagaimana bisa ia secepat itu berlari dan melupakanku yang tak bisa melihat tanah yang kami pijak. Untung saja jalanan disini sama ratanya. Jadi, aku tak begitu khawatir akan terjatuh.
"Sudah sampai."
Suara Mike menyadarkanku. Ia melepas tangannya yang sedaritadi menarikku. Kuulang, ya. Menarikku. Bukan menggenggam layaknya seorang kekasih yang sedang kasmaran. Kuperingati; singkirkan pikiran itu jauh-jauh.
"Kita dimana?" tanyaku akhirnya.
"Suatu tempat yang aman. Letaknya gak jauh dari tempat tadi kok." Tangannya dengan pelan mendorong punggungku, berisyarat padaku untuk duduk di kursi yang ada.
"Lalu untuk apa kita kesini?" Aku duduk. Tepat di sebelahnya kurasa.
Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah memekik tertahan. "Astaga."
"Ada apa?" tanyaku cepat. Bokongku kuangkat sedikit. Supaya jika sesuatu yang membuat Mike panik tadi adalah Mr. Johnson, aku bisa dengan cepat berlari. Ya... walaupun aku ragu akan kemanakah aku lari.
"Gu-- aku baru sadar bahwa kamu bukan asli Indonesia." Aku memutar bola mataku kesal. Selain hobi membolos, ia sepertinya juga memiliki hobi untuk membuat panik.
Tapi diam-diam, aku tersenyum kecil. Sepertinya secara tak sengaja, aku telah mengubah gaya bicara seseorang.
"Kau hampir membuat jantungku copot, bodoh." Aku tertawa kecil, menandai bahwa itu gurauan. "Anyways, tahu darimana?"
"Aksenmu saat berbicara. Bahasa Indonesiamu yang begitu kaku."
"Jangan mencela."
"Tapi aku suka."
"Apa?"
"Aksenmu. Dan... oh, juga matamu. Aku suka warna matamu."
"Terimakasih. Sebenarnya Ini belum apa-apa dibanding milik Zian."
"Zian? Pacarmu di sekolah?" Aku tertawa lagi. Dia benar-benar sebegitu penasarannya kah?
"Jangan sok tahu. Aku bahkan tidak bersekolah."
"Lalu, kamu hanya diam begitu saja di rumah? Dengan Ziankah?" Sudah kubilang tadi. Ia benar-benar memiliki tingkat penasaran yang melambung tinggi.
"Astaga..." Aku menggeleng dramatis lalu terkekeh setelahnya. "Zian bahkan sudah tak ada."
"Mening....gal?"
"Menghilang."
"Menghilang? Menghilang ditelan bumi begitu saja? Tak ada kabar?" Lagi dan lagi, aku tertawa kecil menanggapinya. Dia ini benar-benar, ya.
"Kamu ini memang terlahir dengan rasa penasaran yang tinggi, ya?"
"Tidak juga." Ada selang beberapada detik sebelum ia menambahkan, "ini tergantung siapa yang berbicara denganku. Jika dia menarik, pasti aku penasaran." Aku tersenyum geli. Sedangkan kudengar dia tertawa pelan.
"Kau gila," entah makhluk apa yang menyuruhku, tapi barusan sekali aku menepuk lengannya pelan. Lalu, kembali tertawa.
"Kau yang gila. Tiba-tiba mengataiku seperti itu."
"Ya aku gila. Dan mungkin itulah mengapa aku tidak bersekolah lagi."
"Maksudmu?"
"Aku homeschooling."
"Aku jadi membayangkan bagaimana bosannya dirimu."
"Itu lebih baik dibanding dengan mendengar ejekan mereka."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"love would make us blind. so i don't need any love at all; i'm already blind." (Inspired by JIN's Gone music video.)