ten

2.2K 212 3
                                    

"Sayang, makan dong. Kamu belakangan ini kok jadi susah makan, Sha? Ada apa?" tanya seseorang di sebelahku. Ia menatapku penuh simpatik, aku yakin itu. Terdengar jelas dari bagaimana ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan gumaman.

"Shabbrine?" Jillian. Iya, dia. Menurutmu siapa lagi yang akan memanggilku dengan suara tegas seperti itu jika ia sudah tak sabaran? Tentu dia.

Aku hanya bergumam menanggapinya. Tak tau harus apa lagi.

"Shabbrine...," Jillian ikut bergumam. Tangan hangatnya yang mungkin sedang memegang sendok untuk menyuapku tadi, kini ia taruh melingkar di tubuhku. Ia memanggilku lagi. Tapi tiba-tiba suaranya serak, entah apa yang membuatnya seperti itu sampai-sampai pelukannya juga semakin erat.

"He'll be alright, trust me." Aku masih terdiam. Tidak merespon apapun sehingga keadaan menjadi hening. Lagipula, untuk apa merespon jika aku saja tidak tahu apa yang terjadi dengannya?

Ya, aku belum mendapatkan sepeserpun kabar sejak pertemuan terakhirku dengannya hari minggu lalu. Aku semakin sedih saat mengingat hari ini sudah hari selasa. Dua hari tanpa kabar apapun. Entah apa yang aku rasakan sekarang, namun pikiranku terus dihantui olehnya. Mengingat nyanyiannya, kejahilannya, bahkan saat ia mengerang kesakitan pun aku masih ingat betul.

Kira-kira, sedang apa dia? Apa ia masih sakit? Apa ia tidak apa-apa?

Entahlah. Mungkin kini panggilan dia sudah berubah tujuan.

Dari Zian lalu berpindah ke...

"Mike." Pelukan Jillian tiba-tiba merenggang. Aku menautkan alis, heran dengan maksudnya yang tiba-tiba memanggil Mike.

"Mike?" 

"Ya, dia akan baik-baik saja. Kita hanya bisa berdoa dari sini, Shabbrine."

Aku hanya mengangguk. Sakit rasanya setiap kali mengingat erangan Mike yang seolah berkata ia ingin semuanya berakhir. Berakhir tanpa harus mengenali rasa sakit yang terlalu rumit untuk dijelaskan. "Aku harap juga begitu, Jill."

"Jadi? Ayo, makan. Aku tidak ingin saat Mike sudah sembuh, lalu giliranmu yang terbaring lemas di rumah sakit."

"Mike sedang di rumah sakit?"

"Ya--" dengan cepat aku membuka mulutku untuk bertanya. Tapi belum juga aku melontarkan sepatah katapun, Jillian sudah membalap lagi. "Ah. Jawabannya tidak boleh kalau kau bertanya untuk menjenguknya."

Bibirku langsung ku-majukan beberapa centi. Hilang lagi napsu makanku sekarang.

Jillian yang mungkin memperhatikan sikapku tadi langsung menghembuskan nafas panjang. "Demi kesembuhannya, Sha. Kamu mau dia sembuh 'kan?" Aku mengangguk.

"Kalau begitu, makan. Aku tidak ingin Mike bersedih nanti jika ia melihat perempuan idamannya jatuh sakit." 

Astaga. Apapun yang Jillian katakan tadi, entahlah, itu benar-benar berhasil membuat aku tersenyum tidak karuan.

"Ayo, makan."

"Tidak setelah kau berkata yang tidak-tidak, Jills." Aku tertawa kecil. "Aku tidak berkata yang tidak-tidak!" sergah Jillian lalu tertawa pula.

Mungkin, sekarang posisi Zian memang sudah tergantikan. Mungkin, memang Zian sudah pergi entah kemana. Mungkin, Zian memang sudah tak peduli lagi.

Tapi satu yang aku tahu pasti. Aku masih memiliki Mike yang selalu berada disisiku. Bersedia menghiburku. Bersedia menerima apapun kekuranganku. Tidak. Aku tidak berfikir kalau aku menginginkan ia menjadi pacarku atau apalah. Hanya saja aku kini sudah bisa melupakan Zian dan menggantikannya dengan Mike.

Entahlah. Yang utama selalu bisa tergantikan oleh yang selalu ada 'kan?

Astaga, aku ngawur. Zian bahkan hanya sahabat bagiku. Tidak lebih dan tidak kurang.

Hanya saja... aku tidak ingin Mike seperti Zian. Mengisi hari-hariku, menemaniku, membuatku tertawa, lalu menghilang begitu saja. Rasanya seperti... kamu terbang ke langit lalu dijatuhkan begitu saja.

Begitu sakit.

SightlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang