eleven

2.2K 195 0
                                    

Aku kembali mencorengkan pensil ke buku sketsa kesayanganku. Hari ini sudah hampir seminggu setelah kejadian yang-- entahlah, aku sendiri pun bingung untuk mendeskripsikannya. Intinya, sejak saat itu, aku tidak lagi mendengar teriakan Mr. Johnson yang kesal karena kelakuan murid jahilnya itu.

Mike.

Bahkan hanya dengan satu nama itu, air mataku menetes, yang kuyakin kini membasahi kertas yang diatasnya terdapat sketsa wajahnya.

Maklumi kebiasaanku, yang sering menggambar siapapun yang sedang aku rindukan. Ayah, Ibu, Nenek, Zian... mereka selalu rutin kugambarkan wajahnya setiap pagi. Ya, setiap pagi. Apalagi dengan homeschooling-ku yang sedang libur di bulan ini. Membuatku semakin giat mengisi buku sketsaku.

Aku mendesah pelan. Dulu Zian, sekarang Mike. Oh Tuhan..

Aku bisa merasakan air mataku mengalir beraturan di pipi lalu jatuh, lagi-lagi ke kertas yang belum terlukiskan sempurna wajah orang yang kurindukan.

Dahulu, sebelum kecelakaan itu terjadi, aku juga sempat menggambar wajah Zian karena ia giat sekali memintaku untuk menggambarnya. Katanya, sekaliiii saja, sesudahnya, aku boleh bebas. Entahlah, dia senang sekali berbicara asal. Dia fikir, aku burung, yang bisa dia lepaskan begitu saja. Baiklah, aku mulai sama sepertinya.

Singkat cerita saat aku ingin memberinya hasil karyaku, sesuatu terjadi. Aku tidak ingat apakah itu namun semua seakan telah diambil oleh semesta secara paksa. Mulai dari orang-orang yang kucintai sampai ke--

Cukup. Aku tidak bisa menangis lagi. Tidak juga karena kejadian Mike yang seakan nyaris menyerupai dengan Zian.

Mereka sama-sama datang secara paksa ke kehidupanku. Menyeretku pula untuk hinggap ke kehidupan mereka. Mereka membawaku ke warna yang lain di dunia ini, yang bahkan belum pernah aku torehkan ke kanvasku sendiri. Mereka membuatku merasa berbeda.

Ya, bisa atau tidaknya aku melihat, tidak menjadikan sebuah panutan apakah aku memiliki banyak teman atau tidak. Nyatanya, semuanya sama. Aku selalu sendiri. 

Ada atau tiadanya Zian, seperti terdengar nyaris sama. Ayah dan Ibu bahkan sibuk dengan pekerjaan masing-masing yang membuatku tetap merasa sepi. Nenek pun demikian. 

Takdir? Ya. Semenjak aku kehilangan semuanya, aku jadi mengenal satu kata itu. Satu kata yang membuatku tersadar bahwa inilah yang seharusnya aku terima. Dari dulu, tidak pernah berubah bahkan saat beberapa orang menyeretku untuk keluar dari garis takdir tersebut. Seakan-akan memang inilah jalannya. Seakan-akan aku sedang berada di jalur padat yang hanya menyediakan satu arah jalan.

Tapi, yang kutahu, pasti ada jalan pintas untuk perjalananku. Pasti ada jika aku pintar-pintar mencarinya.

Mike. Aku tahu dia akan baik-baik saja seperti yang Jillian selalu katakan.

Zian dan Mike serupa. Tapi kuharap tak sama. Aku menyayangi mereka lebih dari seorang teman. Berlebihan? Tidak jika kau merasakan hanya memiliki seorang teman sesetia mereka. 

Aku menyayangi mereka. 

Sangat.

Jadi jika teman pertamaku telah tiada... tak apa, aku ikhlas walau hati ini terasa berat. 

Tapi, kumohon, Takdir. Aku tidak ingin merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.

Tidak untuk Mike.

Entah, aku hanya ingin mencari jalan pintas itu. Setidaknya untuk kali ini.

SightlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang