Tanganku berhenti melukis dengan kuas ketika Jillian berkata sekarang sudah pukul 2:50. Aku membereskan peralatanku secara kilat. Tapi tak lupa juga untuk menyisipkan buku gambar yang salah satu lembarnya sudah sibuk aku lukis sedari pagi. Bukan, kok. Kali ini bukan wajah Zian yang terpampang. Tetapi wajah...
"Shabby? Cepat, nak. Nanti kamu telat!"
"Ah, iya Jills. Tunggu!"
-
Aku melangkahkan kakiku ke dalam tempat khursus ini lagi. Hari ini hari minggu dan seperti yang Mr. Gru bilang kemarin, seharusnya aku tidak masuk hari ini. Bahkan aku tak memberitahu Jillian bahwa seharusnya aku libur hari ini.
Tapi mau bagaimana lagi? Kurasa semakin hari, aku semakin hobi memainkan piano yang menjadi temanku saat disini. Walaupun di rumah aku juga memiliki piano.
Dengan langkah pelan aku melewati ruang tunggu. Ya walaupun akhirnya sia-sia karena Mrs. Roth menyapaku juga. Tapi anehnya, ia tidak menanyakanku mengapa aku disini, bukannya di rumah dan bersantai ria.
Aku sudah sampai di kelasku setelah kegiatan meraba-raba jalan dengan tongkatku kembali dilakukan. Aku menghirup nafas bebas. Rasanya seperti baru keluar dari penjara saja.
Aku sekarang sukses masuk ke dalam kelasku, dengan langkah yang lumayan cepat aku menggerakkan kaki ke kursi tempat aku biasa bertengger.
Aku menaruh tongkatku di sisi kursi. Tanganku mulai bergerak menekan tuts-tuts piano. Secara tak sengaja aku memainkan lagu yang menjadi lagu favoritku dan Zian waktu dulu.
Ah, dia lagi. Sampai kapan sih aku berhenti mengingatnya? Aku bahkan tak mengetahui dimana dia dan bagaimana keadannya. Aku juga tak pernah mendapatkan telefon yang menanyai bagaimana kabarku dan penelfon itu berasal dari keluarga Zian atau bahkan Ziannya sendiri.
Aku memang terlalu banyak berharap.
Tak sadar, alunan suatu lagu terdengar dari piano ini. Bukan. Bukan aku yang memainkannya. Entah siapa, aku juga tak tahu. Bahkan aku baru menyadari bahwa tadi aku berhenti menekan tuts-tuts piano saat memikirkan Zian.
Aku ingin sekali bertanya, tetapi permainan piano ini berhenti dan berganti menjadi pertanyaan dari suara yang tak asing.
"Kamu kenapa disini? Bukannya Mr. Gru sedang pergi dan meliburkan kamu?" tanya Mike langsung ke poinnya.
"Memangnya tidak boleh? Aku bosan di rumah."
"Seriously kamu bosan? Aku bahkan menginginkan libur satu hariii saja untuk tidur sampai besok pagi."
Aku tertawa kecil menanggapinya. Setelahnya, suaranya tak lagi kudengar dan digantikan oleh suara piano lagi.
"Tapi kalau kamu ada disini, entah mengapa harapan itu tiba-tiba hilang," ia berkata tanpa menghentikan permainannya. Astaga, pipiku terasa panas.
"Hilang bagaimana?" Setelah pertanyaanku terlontar, keadaan menjadi hening. Permainan piano nya tiba-tiba berhenti.
"Lupakan. Ahiya. Kamu tahu lagu ini?" ia kembali menekan tuts-tuts piano sehingga piano ini kembali mengeluarkan lantunan lagu yang enak untuk didengar.
"Clue?"
"No clue."
"Ah, i'm suck at guessing, you know. Nyanyikan saja lah."
"Memangnya kamu mau mendengarnya? Suaraku jelek."
Seriously? Saat aku mengenali suaranya saat ia menyanyikan lagu dari Brian McKnight, aku bahkan menilai suaranya lebih dari bagus untuk seukuran cowok jahil yang senang mengabur dari kelas seperti dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Roman pour Adolescents"love would make us blind. so i don't need any love at all; i'm already blind." (Inspired by JIN's Gone music video.)