Gelap.
Hanya itu yang bisa kulihat saat ini. Ya, aku tahu, semua orang pasti mencela jika aku memprotes dengan kondisiku sekarang yang hanya memperlihatkan kerlip-kerlip biru tua yang terpancar dari gelapnya penglihatanku. Karena nyatanya, aku sudah buta sejak kecelakaan itu.
Namun, ini berbeda.
Semua harapanku akan pertemuan lepas rindu bersama Mike sirna sudah sejak tadi siang Jillian tiba-tiba memberitahu bahwa aku ke tempat ini untuk melakukan sesuatu yang entah apa. Yang jelas, aku dapat mencium aroma pekat rumah sakit saat Jillian berkata demikian.
Pukul 2 tadi, Dokter Anwar sendiri yang memberitahu, suster-suster menyuruhku untuk berbaring di ranjang untuk menghadapi sesuatu. Aku masih buram dengan semua yang akan mereka lakukan. Apalagi Jillian pun seperti enggan memberitahu.
Namun kini, saat aku terbangun dari tidur yang entah berapa jam. Dan saat jam sudah menunjuk ke angka 5--begitu kata Jillian--aku seperti merasakan sesuatu yang berbeda.
Perasaan ragu, sedih, gembira, dan rasa penasaran yang tinggi mendominasi secara serakah. Ragu akan apa tujuannya sebuah perban terlilit di kepalaku, menutupi bagian mata. Seolah perban ini menghalangi penglihatanku yang memang sudah tertutup sejak dulu.
Tiba-tiba suara berat seorang pria menarikku kembali ke realita.
"Suster. Tolong buka perbannya."
Aku merasakan beberapa tangan menjelajahi perban yang dililit di bagian kepalaku. Perban itu pelan-pelan terbuka dan akhirnya terlepas. Membuatku ingin cepat-cepat membuka mata yang sedaritadi tertutup jika saja Dokter tidak menahan, "jangan buka matamu dulu ya, Shabrine."
Aku tersenyum. Agak menyukai cara Dokter itu memanggil namaku.
Beberapa menit setelah perban itu terbuka, banyak suara-suara seperti peralatan medis yang beradu, tong sampah yang dibuka lalu dimasukan sampah ke dalamnya. Lalu ada suara obrolan kecil seseorang bersama Jilian. Sepertinya itu suara Suster tadi. Kurasa.
"Oke. Sekarang, kamu bisa buka matamu." Dokter itu memberitahu. "Pelan-pelan, ya."
Aku tersenyum. Kikuk sebenarnya karena tidak mengerti maksud semua ini. Lagipula untuk apa perban-perban tadi dan..
Jantungku berdegup tiga kali lebih cepat dari sebelumnya saat mataku terbuka.
Ya, memang. Itu hal yang biasa. Tapi...
Hey lihat! Aku bisa melihat Jillian yang tersenyum lebar ke arahku!
Tunggu....
Aku bisa melihat?!
Astaga Tuhan.
"Shabrine!" Jillian langsung memelukku erat. Hangat, sehangat senyum yang terpancar dari wajahnya yang manis. Aku tertawa pelan. Kini semua deskripsiku tentang Jillian, senyumnya, dan lainnya bukan lagi kuterka. Entahlah, aku sangat bangga karena sudah bisa kembali melihat.
Semoga siapapun yang mendonorkan kedua mata ini mendapat berkah yang setimpal oleh Tuhan. Amin.
Jillian mengeratkan pelukannya.
"Jillian, aku bolehkan menjenguk Mike?"
Dan setelah kalimat itu terucap, Jillian benar-benar melepaskan pelukannya dariku.
Jillian..., kau kenapa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"love would make us blind. so i don't need any love at all; i'm already blind." (Inspired by JIN's Gone music video.)