epilog

3.6K 261 10
                                    

Angin sore serta rintikan kecil hujan mengisi hari minggu kali ini. Rintik-rintik kecil serta suara katak-katak di pinggiran sungai-sungai kecil serasa menemani awan mendung di atasnya. Anak kecil bermainan riang di bawah rintikan kecil hujan yang mampu menyejukkan hati siapapun yang mendengar. Beberapa pasangan pun tidak ingin melewati indahnya suasana sore hari dengan berdiam diri di rumah. Banyak dari mereka yang terlihat bermesraan di bawah payung yang terus dihantami rintikan kecil si gerimis.

Sama halnya seperti Shabbrine Michellea Abrams. Wanita berumur 25 tahun yang tidak pernah bersekolah di sekolah umum itu memang sedang tersenyum hangat. Wajah manisnya yang agak basah karena awan mendung jahil menuruni hujan di atas kepalanya membuat dirinya jadi kena ambasnya. Namun wajahnya yang agak basah tidak membuatnya terlihat tidak cantik sekalipun.

Payung biru mudanya perlahan ia singkirkan. Ia lipat kemudian ia taruh di sebelah makam seseorang yang akan selalu ia ingat kenangannya.

Dalam diam Shabbrine berdoa. Dalam diam ia berharap. Dalam diam pula ia mengenang semua memori yang telah membuatnya bersyukur kepada sang pencipta karena telah terlahirkan di dunia ini.

Setelah lamanya ia selalu dicela karena tidak bisa melihat, Mike seolah datang tiba-tiba dan merubah segalanya. Yang dahulunya ia hanya bisa melihat bayangan hitam, kini Mike telah membuatnya merasakan warna-warni kehidupan yang lain.

Meski itu semua hanya berlangsung satu bulan.

Itu sudah lebih dari cukup dari apa yang selama ini Mike perbuat padanya. Semuanya. Bahkan dengan penglihatannya yang kembali normal, Shabbrine sangat berterimakasih pada Mike yang ia yakini sudah berada di surga itu.

Tangan mungil Shabbrine mengelus pelan batu nisan bertuliskan nama Mike. Ia tersenyum lagi. Yakin bahwa sekarang Tuhan bahagia bisa melihat hambanya seikhlas ini untuk melihat takdir. Bangga karena hambanya kini sudah bisa tersenyum sumringah melawan arus yang menghantamnya terus menerus sejak ia dilahirkan.

Shabbrine pun sadar ia sekarang sudah beranjak dewasa. Kemeja putih elegan yang membalut badannya serasa mengikrarkan bahwa ia sekarang sudah menjadi wanita yang sukses dalam karirnya.

Pemilik perusahaan terkenal sekaligus guru piano khusus anak tunanetra, seolah menjadi identitas dirinya sekarang. Ia sudah mapan. Berbeda dengan dirinya 8 tahun yang lalu. Saat semuanya buram. Saat yang bisa ia lihat hanya hitam dan hitam.

Kini ia bisa melihat indahnya dunia. Serta, mengelus lembut perut yang tengah terisi janin berumur 5 bulan.

Ia semakin tersenyum sambil menatap perutnya dan makam Mike bergantian. Berterimakasih kepada Tuhan yang telah memperkenalkan Mike ke dalam hidupnya. Mike. Sahabat sekaligus penolong hidupnya. Yang tidak akan pernah ia lupakan keberadaannya dan kenangannya.

Dan...

Shabbrine mengalihkan pandangan pada pria berumur 27 tahun yang sedang tersenyum di dekat gerbang pemakaman ini. Wanita itu tersenyum. Mengedikan bahunya, mengisyaratkan pria tampan itu untuk bersimpuh bersama di sebelah makam Mike. Mendoakannya. Seperti bagaimana yang selalu ia lakukan satu atau dua bulan sekali. Kini itupun seolah menjadi rutinitasnya. Tak lupa juga dirinya untuk mendoakan kedua orang tuanya sebelum ia mengunjungi makam Mike.

Pria itu mendongak saat mereka selesai berdoa. Menggenggam tangan wanita tercinta di sampingnya. Wanita itu tersenyum. Dan dengan bangga bergumam kepada makam Mike sembari merangkul punggung pasangannya tersebut, "Zian kangen sama kamu juga loh, Mike. We all miss you so damn much." Dan dengan begitu, kedua pasangan yang sama-sama mengenali Mike dengan baik tersenyum hangat ke arah makam Mike sebelum mereka benar-benar meninggalkan pemakaman tersebut. Berharap setiap doa yang mereka panjatkan, akan menghadiahi sesuatu yang berharga untuk Mike di alam sana.

====

Selesai.

30 Agustus 2014

SightlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang