Third Person - Cerpen

67 2 0
                                    

"Perasaan saya padamu itu urusan saya. Bagaimana kamu menanggapinya itu urusanmu."
.
.
.
.

"Kalau begitu saya pamit. Semoga kamu mengerti dengan semua penjelasan saya. Terima kasih." Pamitnya padaku.

Gadis itu berdiri lalu mengambil goodie bag miliknya. Dia menepuk rok abu-abunya yang terlihat kusut. Aku yakin dia meremasnya saat berbicara padaku. Dia tersenyum sesaat sebelum berjalan keluar dari ruangan ini.

Aku menatap punggung kecilnya dari jendela, perkataannya tadi cukup mengundang senyumku. Gadis yang unik.

***

Aku berjalan keluar dari aula, ketika hujan mulai turun begitu deras. "Sialnya," umpatku pelan.

Sedikit kesal dengan keadaan, kulirik arlojiku. Pukul 5 sore. Ah~rasanya aku ingin marah saja, seharusnya aku sudah pulang sejak dua setengah jam yang lalu, namun karena diadakan rapat koordinasi oleh OSIS-PK yang baru. Aku jadi mendekam di dalam aula mendengarkan pembicara yang menjelaskan mengenai keadministrasian, keuangan, dan kepemimpinan. Hal-hal basic yang wajib diketahui oleh pengurus baru klub sekolah.

Kurogoh saku jaketku guna menggambil ponsel pintarku. Saat kunyalakan sambungan internet, seketika notifikasi What's app membludak. Tak kuhiraukan semua pesan yang sebenarnya penting itu, segera kuhubungi Abang untuk menjemputku.

"Achazia Qierinizza?"

Aku terkesiap ketika mendengar sebuah suara yang memanggil nama lengkapku. Hampir saja aku menjatuhkan ponsel dalam genggamanku.

"Iya, kenapa?" Aku memutar badan dan memasukkan kembali ponselku ke dalam jaket. Baru saja aku hendak tersenyum ramah pada sang penyapa, namun aku malah menjatuhkan goodie bag yang berada ditanganku, membuat beberapa buku berserakan. Terkejut berlebihan adalah kelebihanku. Jantungku berdegup kencang dan pipiku memanas, kala menyadari bahwa lelaki itu adalah Fatir.

Muhamad Fatir, lelaki yang sedetik lalu menyapaku adalah ketua MPK yang baru dikukuhkan tadi pagi. Lelaki yang entah kenapa 2 bulan terakhir ini kehadirannya menjadi canduku, senyumannya yang jarang sekali terlihat menjadi semangatku. Aku tak begitu mengenalnya, hanya mengetahui sedikit dari dirinya, sebab dirinya tak pernah mengexplore kehidupannya di dunia maya, dan aku yakin dia tak mengenalku.

Namun, aku tidak boleh untuk berharap lebih kepadanya, sebab hatinya sudah terkunci pada seorang gadis yang notabenenya adalah rekan seklubku.

"Ah, maaf. Saya mengejutkanmu." Kayanya sambil berjongkok mengumpulkan buku-buku yang berserakan.

Tersadar dari lamunanku, aku segera berjongkok dan mengambil semua bukuku dengan cepat seraya memasukkannya kembali ke dalam goodie bag. "Ah, terima kasih." kataku pelan sambil menunduk, tak kuasa menatap matanya.

"Kamu Achazia, kan?" Tanyanya padaku.

"Iya," jawabku singkat. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa lidahku terasa kelu saat ini.

"Boleh saya bicara sebentar?"

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

***

Kami memutuskan untuk berbicara di dalam aula, sebab Fatir bilang pembicaraannya akan sedikit memakan waktu dan mengingat hujan yang semakin deras membuat udara semakin dingin.

Kini kami duduk berhadapan di dalam aula. Hening mendera, hanya terdengar suara gemericik air hujan. Kualihkan padanganku pada jendela yang berembun. Jujur, aku benci dengan kecanggungan.

Fatir berdehem, mengalihkan perhatianku untuk memperhatikannya, "Jadi saya dengar kamu- hmm, menyukai saya."

Aku melebarkan mataku, kenapa harus sefrontal ini sih?

"Tenang, saya nggak bakal berbuat yang macam-macam." Katanya lagi.

Aku mengernyitkan dahi, apanya yang berbuat macam-macam? Bertanya seperti itu saja menurutku sudah berbuat macam-macam. "Ya, saya menyukai kamu." Kataku padanya. Tanganku meremas rok abu-abu yang kupakai.

Dia tersenyum kecil, aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan. "Tapi, kamu tahu kan, saya-"

"Ya, kamu punya Ainun." Potongku. Sebab aku mulai tahu kemana pembicaraan ini berlangsung. Kualihkan pandanganku kembali pada jendela berembun di sebelah kananku, memperhatikan lapangan yang diguyur hujan sepertinya lebih menarik dibandingkan dengan mendengarkan sesuatu yang cepat atau lambat akan menyakiti hati.

"Emm, syukurlah kalau kamu tahu." Katanya pelan. "Ainun terganggu dengan perasaanmu."

Aku sama sekali tidak terkejut dengan pernyataan Fatir, sebab sejak seminggu lalu Ainun mengabaikanku, dan kini aku tahu penyebabnya.

"Apa kamu terganggu dengan perasaan saya?" Aku mencoba berbicara setenang mungkin agar suaraku tidak terdengar bergetar.

"Tidak, saya tidak terganggu dengan perasaanmu. Hanya saja, Ainun berpikir jika kamu terus menyukai saya, bisa saja kamu akan... emm... merusak hubungan kami."

Mendengar penjelasannya, kurasakan dadaku bergemuruh dan mataku mulai memanas. Tapi segera kusuntikkan sugesti agar tangis dapat kutahan, setidaknya sampai pembicaraan ini selesai. Kuarahkan padanganku padanya, menarik napas pelan, "Apa pernah saya mencoba mendekati kamu?" Kataku dengan suara pelan.

"Tidak," jawabnya.

"Apa pernah saya menyapa kamu? Berkenalan?"

Fatir menggeleng, "Saya hanya sering mendengar namamu dari Zeta."

"Apa pernah saya mencoba untuk merusak hubungan kalian?"

Fatir kembali menggeleng.

"Lalu... kamu percaya bahwa saya akan merusak hubunganmu? Padahal saya tidak pernah mencoba untuk mendekatkan diri padamu."

Fatir terdiam, sepertinya dia cukup tertampar dengan perkataanku.

"Dengar, saya memang menyukaimu. Saya tidak mengelak dengan pernyataan itu, tapi kamu harus tahu, bahwa saya tidak pernah berharap agar kamu juga menyukai saya." Kueratkan remasan pada rok abu-abu yang kupakai, "Dan perkataanmu tadi cukup menyinggung." Kataku masih dengan suara pelan dan mencoba menahan getar.

"Maaf. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung kamu." Katanya

Aku tersenyum kecut, "Kamu bilang bahwa kamu sama sekali tidak terganggu dengan perasaan saya. Lalu kenapa kamu berbicara seolah saya memang benar-benar menggangumu?" Kataku masih dengan suara pelan.

Fatir terdiam. Kupikir wibawa yang selama ini melekat pada dirinya menguap entah kemana. "Maaf, saya memang tidak terganggu dengan perasaanmu. Saya hanya berusaha untuk mencari kebenaran dari pikiran Ainun."

Dahiku mengernyit, apa katanya tadi? Mencari kebenaran dari pikiran Ainun? Apa dia sudah gila?

"Mencari kebenaran? Dengan menemui saya?" Untuk saat itu, getaran yang sedari tadi kutahan akhirnya terdengar.

"Ya, saya pikir, jika saya mengenal kamu. Saya akan tahu, niatmu seperti apa." Katanya.

"Dengar, perasaan saya padamu, itu urusan saya. Bagaimana kamu menanggapinya, itu urusanmu." Kataku, sudah cukup dengan semua ini. Aku benar-benar tidak ingin mendengar apa pun lagi mengenai ini. Kulihat dari jendela, hujan sudah reda, kuputuskan untuk pulang saja karena aku yakin Abang sudah menjemputku.

"Kalau begitu, saya pamit. Semoga kamu mengerti dengan semua penjelasan saya. Terima kasih." Pamitku padanya.

Aku berdiri lalu mengambil goodie bag milikku. Setelah membenahkan rok yang kupakai, aku tersenyum pada Fatir dan segera keluar dari ruangan ini.

Selesai

Author Note:
Cerita ini saya buat akibat kekesalan saya ;v ;v

Kritik dan saran silahkan disampaikan.

Don't MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang