Tempatku Berteduh - Cerpen

107 2 0
                                    

Hujan

***

Aku menatap langit yang sudah mulai menggelap bukan karena matahari sudah ingin terbenam, tapi karena matahari terpaksa harus bersembunyi di balik awan-awan kelabu yang kegendutan tak sabar ingin menjatuhkan beban yang sudah dikandungnya sejak pagi. Sebentar lagi akan hujan.

Langkah kakiku semakin cepat menuju kelas. Aku lupa tas dan semua barang-barangku masih di dalam kelas. Sejak istirahat kedua jam pelajaran kosong sebab guru yang seharusnya mengajar sedang dalam keadaan tidak sehat. Keadaan kelas yang ricuh memaksa aku yang antisosial dan benci keramaian memutuskan untuk belajar di perpustakaan sekolah. Terkadang belajar di dalam perpustakaan dengan ribuan buku di sekitarku membuat aku lupa waktu. Sekarang sudah lebih satu jam dari jam pulang.

Kepalaku menoleh ke area kelas yang memang sudah sepi. Rintik air yang turun memaksa kakiku untuk berlari ke arah kelas. Tanganku mengamit asal barang-barang yang masih berceceran di atas meja memasukannya ke dalam ransel kemudian menggendongnya dan segera meninggalkan kelas.

Aku memperlebar langkahku menuju gerbang sekolah dengan sedikit melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul 16:30.

Rintik-rintik air dari langit semakin banyak dan membasahi wajahku. Sial. Kenapa hujan harus datang di saat yang tidak tepat seperti ini? Aku berlari ke arah tenda yang biasanya dipakai oleh abang-abang penjual batagor. Berteduh di sana sepertinya tidak ada salahnya daripada aku harus pulang dengan keadaan basah kuyup.

"Ah, seharusnya aku membawa payung." gumamku kesal.

"Harusnya aku tidak tidur di kelas tadi!"

Jantungku hampir melompat dari dada. Suara berat dari belakangku membuat bulu romaku berdiri. Sontak aku menolehkan kepala melihat sang pemilik suara.

Di atas bangku panjang milik abang penjual batagor yang sudah pulang sejak setengah jam yang lalu duduk seorang lelaki yang baru saja mengejutkanku. Dari seragam yang dia pakai sepertinya dia juga siswa sekolahku. Tapi dari label kelasnya, dia satu tingkat di atasku.

"Apa?" Dia menatapku datar.

"Tidak. Aku hanya terkejut." ucapku pelan sambil menundukan kepala. Sepertinya dia tidak asing untukku.

Dia menepuk bangku di sebelahnya, "Sini, hujan akan sedikit lama. Tidak mungkin kau akan terus berdiri di sana."

Aku tersenyum canggung ke arahnya, kemudian melangkah ke arahnya dan duduk di tempat yang sebelumnya dia tunjukan padaku.

"Kenapa kau pulang telat?"

Aku menolehkan kepala, menatapnya yang kini tersenyum lebar padaku. "Aku lupa waktu, terlalu lama di dalam perpustakaan." jawabku pelan.

Sepertinya ada yang salah dengan diriku, kenapa aku sama sekali tidak takut pada lelaki ini?

"Oh, Namaku Kenata Basupati. Kau?"

"Namaku Alondra Latulangi." jawabku.

Dia menujukan ekspresi berpikir sebelum akhirnya terkekeh pelan. "Alondra. Alone. Sendiri. Pantas saja aku sering melihatmu berjalan sendirian, sepertinya kau senang dengan kesendirianmu itu."

Mataku membulat sempurna. Benar juga. Namaku menunjukkan jati diriku yang mencintai kesendirian. "Ya, begitulah."

Aku mengalihkan pandangan menatap rintik air yang jatuh dari langit, apa mereka tidak merasa sakit? Terhempas setelah diangkat tinggi. Benarkan? Air hujan sebelumnya adalah air di bumi yang kemudian menguap ke langit dan ditampung di dalam awan kemudian di hempaskan kembali ke bumi.

Don't MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang