BAB 5

115 10 2
                                    

Wilson membiarkan dirinya merasakan aliran air hangat yang membasahi tubuhnya. Sesekali ia memejamkan mata, berusaha melepaskan penatnya.

Ia mengambil handuk lalu mulai mengeringkan badannnya. Setelah itu diikatkannya handuk pada pinggangnya, sambil melangkah keluar dari kamar mandi.

Rambutnya yang mulai panjang, masih terlihat sangat basah mulai meneteskan air dan membasahi punggungnya. Diambilnya handuk kecil yang ia gantung dibelakang pintu kamarnya, lalu ia mengeringkan rambutnya.

Ia membanting tubuhnya diatas tempat tidur dengan keras. Ia mulai memejamkan matanya. Masalah keluarga,lingkungan baru, sekolah baru, suasana baru, membuatnya muak. Sangat muak. Bahkan ia lelah menjalani hidupnya. Jika saja, euthanasia berlaku di Indonesia, mungkin ia sudah mengakhiri hidupnya sejak lama.

Ia bukan tipe anak yang suka melawan orang tua, malas sekolah, ataupun menjadi anak berandalan. Ia bukan Wilson yang lama. Wilson yang lama adalah cowok yang sangat menghargai orang tuanya, cowok yang sangat ceria, cowok yang mudah bergaul, cowok yang ramah, bahkan seorang cowok yang sangat menyayangi sahabat sekaligus menjadi kekasihnya. Entah takdir merubah hidupnya, Tuhan mulai mengambil orang - orang yang ia sayangi. Hidupnya hampa. Tidak seperti dulu lagi. Ia adalah Wilson yang baru. Ia bersikap cuek, kasar, dan sesuka hatinya tanpa peduli dengan perasaan orang lain. Ia tidak percaya lagi dengan cinta. Cinta hanya akan melukaimu saja, mengiris - iris perasaanmu, lalu mulai mencabik - cabik hatimu, dan akhirnya kau akan merasakan sakit yang luar biasa dan tidak ada satu orang pun yang bisa mengobatinya.

Setiap ia melihat foto itu, ia hanya bisa menahan sesak dadanya. Dan hari ini sukses membuatnya kembali mengingat kejadian itu, beberapa bulan yang lalu. Ia mendengar suara derap kaki menaiki anak tangga.

Pasti mama, bathinnya.

Dengan cepat ia memakai celana pendek rumah tanpa memakai baju, ia langsung membuka pintu walaupun belum ada suara ketukan dari luar.

"Weits bro. lo tau gue mau datang?"

Surya sudah berdiri di depan pintu. Wilson menghela napas panjang.

"Gue kira mama. Sini masuk." Wilson membiarkan Surya masuk, ia sibuk menjemur handuknya yang basah di jemuran kecil, tepat di balkon kamarnya. Surya langsung membanting tubuhnya diatas tempat tidur saudaranya itu.

Ayahnya Surya dan Alm. Ayahnya Wilson adalah saudara kandung. Alm. Jack Mardinand dan Martin Mardinand adalah seorang pilot. Om Martin memperlakukan Wilson sama seperti ia memperlakukan Surya sebagai anaknya. Ia tidak ingin Wilson kehilangan sosok ayahnya.

Walaupun sebenarnya Wilson memiliki seorang kakak laki - laki, namun sejak masalah itu Wilson sudah tidak mengakuinya sebagai kakak. Baik Wilson dan kakaknya tidak memiliki hubungan apapun. Baginya, kakaknya sudah lama mati. Karena itu, hanya mereka berdualah penerus nama baik Mardinand. Wilson Mardinand dan Surya Mardinand.

"Will"

"Hmmm"

"Kabar lo gimana?"

Wilson kembali masuk ke dalam. Sekarang ia tidur terlentang tepat disamping Surya.

"Gue nggak baik." Katanya Lirih. Wilson menarik napas dalam - dalam, lalu menghebuskan dengan perlahan.

"Gue ikut sedih buat lo Will."

"Thanks." Wilson bangkit berdiri, berjalan kearah lemari mengambil kaos oblong rumahan kesayangannya, ia duduk diatas sofa sambil melipat kakinya.

"Sekarang giliran lo, gimana hidup lo Sur, aman? Lancar?" Wilson mengambil bantal sofa, lalu dilemparnya dan mengenai kepala Surya. Surya terkekeh. Ini adalah kebiasaanya bersama Wilson. Perang bantal yang selalu mereka lakukan sejak mereka kecil.

LOVE, HATE & REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang